Ledakan besar yang terjadi di depan sebuah swalayan telah menelan korban jiwa sebanyak 10 orang dan belasan luka-luka. 8 diantara korban-korban tersebut berhasil diidentifikasi sedangkan untuk 2 lainnya masih dilakukan sebab tubuh sang mayat mengalami kebakaran 100%.
Sementara untuk keluarga korban sudah mulai berdatangan yang tentunya diiringi tangisan-tangisan histeris.
Di sisi lain, Vanara yang hanya berselang sedikit meninggalkan supermarket tempat kejadian tersebut sontak dibuat terkejut. Dia teringat sang anak yang memang berada ditempat yang sama.
Gegas saja dia menuju rumah sakit tempat para korban dievakuasi.
Tibanya di sana, keluarga korban tengah berkumpul di lobi rumah sakit. Vanara menghampiri resepsionis yang terlihat sibuk mengurusi keluarga korban.
"Alaina Giona, putri saya." Vanara menyebutkan nama lengkap sang anak namun perawat yang bertugas saling lempar pandang.
"Maaf, Bu. Dari 10 korban pasien yang meninggal, pihak kami hanya berhasil mengidentifikasi 8 korban. Dan untuk duanya, kami cukup kesulitan sebab kedua tubuh korban yang terbakar adalah yang paling terparah. 8 mayat ini sudah akan dijemput keluarganya, dan mungkin salah satu dari dua mayat yang masih proses identifikasi adalah nama yang Ibu sebutkan. Atau bila diperkenankan, Ibu bisa melihat. Mungkin ada petunjuk yang akan Ibu temukan."
Vanara nyaris luruh ke lantai bila tidak ada perawat yang menahan tubuhnya. Kepalanya mengangguk sebagai jawaban atas saran yang perawat tadi berikan.
Kemudian perempuan paruh baya itu diantar di ruang otopsi, terlihat beberapa alih forensik masih melakukan upaya untuk mengidentifikasi mayat tersebut.
"Maaf, Pak. Ibu ini merupakan orang tua dari salah satu korban."
"Silakan, Anda bisa menilai apabila Anda merasa salah satu dari keduanya adalah anak Anda."
Vanara menggangguk kemudian berjalan menyusuri dua mayat. Hatinya ngilu bercampur ngeri melihat langsung manusia terbakar. Netranya begitu meneliti tiap tubuh terbakar itu sebab tak ingin melewatkan petunjuk sedikitpun.
"Di salah satu mayat, kami menemukan kalung. Tepatnya pemilik kalung itu ada di sebelah kiri Anda." ujar salah satu dari mereka seraya menyerahkan sebuah plastik bening berisi kalung emas putih pada Vanara.
Tubuhnya langsung jatuh ke lantai, hanya dengan sekali lihat Vanara bisa tau kalung itu adalah milik Giona.
"Gionaaa!!"
Pekikan histeris Vanara juga bersamaan pintu ruang autopsi kembali terbuka.
Sosok Arian berdiri di depan pintu masuk yang diiringi suara raungan Vanara meneriakan nama Giona. Terlihat beberapa perawat juga menghampiri Vanara dan menenangkan wanita itu yang menggenggam erat kalung milik sang anak.
Arian menatap lurus pemandangan di depannya sebelum akhirnya berbalik dan pergi dari sana.
🔗🔗🔗
Hanina berdecak kecil saat kakinya tak sengaja menginjak ponselnya.
Hari ini dia bangun kesiangan, alhasil dia kalang kabut menyiapkan segalanya untuk mencari pekerjaan.
"Sebenarnya bila Anda bangun jam berapapun bukan masalah. Kan Anda masih pengangguran."
Celetukkan kurang ajar dari sistem sejenak menghentikan kegiatan Hanina yang sedang mengepang rambutnya di kedua sisi.
"Calon pekerja tuh dilihat dari kapan dia memanfaatkan waktu sebaik mungkin."
"Yaa saya paham, tetapi Anda mungkin lupa bagaimana kualifikasi calon pelamar. Tinggi harus di atas 150, berpenampilan menarik, punya pengalaman min. 1 tahun, pandai membawa kendaraan, punya sim, dan yang terakhir punya SKCK. Di antara itu apa Anda sudah memenuhi standar di saat penampilan Anda saja seperti pengamen di lampu merah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Giona: Second Lead My Husband
FantasyDemi membantu kesulitan ibunya, Hanina-gadis yang belum lulus SMA itu terpaksa mengikuti saran sang ibu untuk bekerja di sebuah club. Lalu sebuah kecelakaan yang tak disangka menimpanya. Yang lebih mengejutkannya lagi, jiwanya malah nyasar di sebuah...