1. Kehidupan Baru

13.5K 660 41
                                    

Nuansa rumah minimalis berlantai dua dengan warna putih gading itu terasa hangat. Matahari yang sudah mulai naik menyinari hampir seluruh penjuru yang bisa di jangkau dari jendela yang sengaja di buka.

Seorang pria dengan tato yang memenuhi sepanjang lengan kanan itu perlahan menutup pintu lemari setelah selesai menyusun pakaian-pakaian yang ia bawa.

Mata sipitnya menyorot pada sosok kecil yang asik melompat-lompat di atas ranjang dengan gemas, "Ava, nanti jatuh, Nak."

Sosok itu tersenyum malu kemudian menghentikan kegiatannya. Perlahan turun dari ranjang dan melangkah menghampiri sang ayah. Lebih tepatnya untuk mencapai dinding kaca besar di samping ayahnya.

"Ava suka di sini?" Pria dengan nama lengkap Jordan Rajaksa itu ikut melangkah mendekati sang anak, menatap ke arah luar  yang menampilkan jalanan komplek yang padat dengan perumahan.

Lava mendongak menatap sang ayah, "Ava suka di manapun asal ada Papa."

"Manisnya." Jordan mengacak-acak lembut surai Lava, tertawa lucu saat anak itu memeluk kakinya dengan erat.

"Tapi, kenapa harus pindah? Kenapa enggak pulang ke rumah kita?" tanya Lava sambil terus mendongak.

Melihat hal itu, Jordan lantas berjongkok menyamakan tinggi mereka. Jemarinya mengelus wajah bulat itu penuh kasih sayang.

"Yang di sana kemarin bukan rumah kita, Nak. Itu cuma rumah sementara, dan sekarang ini rumah kita. Ava nggak keberatan kan?"

Rumah pemberian sang ibu, dari banyaknya hal yang Jordan tolak, dirinya tidak mampu untuk menolak permintaan Lauren. Hanya sebuah permintaan kecil agar Jordan tetap berada di kota kelahirannya dan menempati rumah yang sengaja Lauren beli.

"Enggak, Ava nggak masalah kok."

Jordan kembali tersenyum kemudian mengecup pipi sang anak. Lava lalu memeluk tubuh besar Jordan, berbisik pelan dengan nada lirih.

"Ava kira Papa masih marah sama Kakak makanya Papa nggak mau pulang ke rumah kita."

Pria bertubuh tinggi itu lantas membawa Lava ke gendongannya. Melangkah keluar kamar dengan tatapan mata yang sedikit hampa. Apakah dirinya masih marah? Entahlah, seperti tidak lagi.

Sulit di akui jika dirinya pernah merasa membenci gadis itu saat berusaha memisahkannya dengan Lava, namun, seiring berjalannya waktu Jordan tidak lagi merasakan kebencian itu.

Apapun yang gadis itu lakukan hanyalah sebuah bentuk kemarahan yang coba ia sampaikan kepada Jordan. Anyelir ... gadis juga merasa kehilangan, jadi, kemarahannya mungkin bisa Jordan terima.

"Papa nggak marah sama Kakak," ucap Jordan yang berusaha menyebarkan aura positif.

Lava tersenyum, "Kemarin Ava marah sama Kakak, Ava bilang Kakak jahat, tapi, ternyata Kakak baik karena kasih Ava sama Papa lagi. Ava belum minta maaf sama Kakak."

Jordan menurunkan Lava di atas sofa ruang tamu yang jauh lebih empuk dari yang mereka miliki sebelumnya. Pria itu mengusap lembut puncak kepala Lava sambil tersenyum hangat.

"Besok-besok Ava bisa minta maaf, kita ajak Kakak ke sini, ya?"

Bagaimanapun juga, fakta bahwa Lava memiliki hubungan darah dengan gadis itu tidak bisa di ubah sampai kapanpun. Tidak ada salahnya membangun hubungan baik dengan Anyelir. Hanya hubungan pertemanan, karena, sejak malam itu Jordan sudah menepis jauh-jauh perasaan yang sempat timbul di hatinya.

Lava melompat penuh semangat, "Boleh?!"

"Boleh, sayang."

Melihat Lava yang bersorak gembira, Jordan lantas tertawa gemas. Dirinya menatap pintu rumah yang masih tertutup rapat. Kepindahannya sudah di rancang jauh-jauh hari, orang tuanya juga sempat mengantar mereka tadi, hanya sebentar karena mereka harus pergi bekerja. Jordan sama sekali belum mengetahui bagaimana rupa orang-orang yang menjadi tetangga barunya.

BAD PAPA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang