***
Satu minggu telah berlalu. Jennie melalui hari-hari beratnya sendirian, tanpa dukungan dari siapapun, karena nyatanya, ia tidak punya siapapun di tempat ini.
Jongin? Jangan tanyakan.
Sejak pertengkaran mereka tempo waktu, pria itu tidak menampakkan diri di hadapan Jennie. Tidak juga menghubunginya atau mengiriminya pesan, membuat Jennie benar-benar sadar, kalau berbulan-bulan kebersamaan mereka, hanya dianggap main-main oleh Jongin. Pria itu mungkin benar-benar menjadikannya sebagai pelampiasan!
Untungnya, Jennie tidak menganaap itu sebagai luka menyakitkan. Bagaimanapun, ia masih realistis. Jongin telah merendahkannya dan pekerjaannya, tidak mungkin baginya akan memperbaiki hubungan dengan pria itu. Apalagi, kata putus sudah keluar dari bibirnya.
**
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jennie masih berada di mejanya, menatap map berwarna cokelat dengan tatapan kosong.
Kalimat Surat Pengunduran Diri tertera jelas di bagian kepala map. Ya, satu minggu terakhir, ia memang telah memikirkan dengan matang untuk keputusan besar ini. Ia benar-benar ingin mengundurkan diri.
Jika dibayangkan, itu memang sayang. Ia bisa mengingat betapa senang hatinya, saat pertama kali mendapat panggilan interview di perusahaan ini, dan tidak lama, dirinya benar-benar bekerja di tempat ini. Namun, setelah beberapa waktu berjalan, Jennie merasa hidupnya berantakan.
Bukan, bukan karena putus dari Jongin. Namun, fakta bahwa dirinya tidak memiliki siapapun yang bisa diandalkan, dan mengalami tekanan yang tidak menyenangkan, membuatnya lama-lama merasa tidak nyaman. Ia ingin kembali seperti di masa lalu, hidup sederhana dengan usaha cattering, dan dekat dengan kedua orang tua.
Memejamkan mata, Jennie sekali lagi mencoba meyakinkan diri atas keputusannya. Ia ingin melepaskan apapun di sini, hubungannya yang tidak sehat dengan Jongin, dan pekerjaan yang serasa mencekiknya. Ini mungkin jalan terbaik!
Sibuk dengan pikirannya, Jennie sampai tidak sadar kalau seorang wanita menghampirinya di sisi mejanya.
"Jennie?"
Gadis itu pun terkejut, mengusap dadanya, saat memaksa senyum. "Irene.. kamu, belum pulang?"
Irene menggeleng, tersenyum. Pandangan wanita itu pun jatuh pada map cokelat di genggaman Jennie. Tulisan yang tertera di sana pun ia baca dengan jelas, membuatnya tidak tahan untuk bertanya.
"Surat pengunduran diri? Kamu mau mengundurkan diri?" tanyanya.
Jennie berdeham, mengulum bibirnya gugup. Ingin menyembunyikan itu, tapi, Irene sudah membacanya. Ia sudah tertangkap basah!
Maka, gadis itu pun mengangguk. "Hm.."
"Kenapa?" tanyanya segera, "kamu tidak betah? Ada masalah? Atau kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐈𝐌𝐏𝐄𝐑𝐅𝐄𝐂𝐓
Fanfiction"Andai saja kamu tidak lumpuh! Seseorang tidak akan menghinamu, dan melukaiku seperti ini.." erang Jennie, meremas erat kaos polo yang dikenakan Taehyung. Mendengar ucapan itu, tanpa sadar, air mata Taehyung pun menetes. Andai saja ia tidak lumpuh...