Bab 12 : Tatakae

86 6 1
                                    

Malam itu langit sudah berubah kelam ketika Ye Fan akhirnya berhasil mengendalikan kereta yang tadi sempat mogok. Matahari telah terbenam, meninggalkan jejak warna merah yang memudar di ufuk barat. Dengan dada penuh kecemasan, Ye Fan menghela napas panjang. Hari ini dia sudah terlambat kembali ke markas Spirit Hall di kota tiandou, dan bayangan hukuman yang mungkin akan ia terima sudah terlintas di benaknya. Mengabaikan suara perutnya yang kelaparan, ia mengerahkan sisa tenaganya untuk menggerakkan kereta secepat mungkin.

"Sialan... pasti aku akan dipukuli lagi," gerutunya dengan suara rendah, membayangkan wajah para penjaga yang biasanya menghukumnya hanya karena keterlambatan sekecil apapun.

Akhirnya, dia sampai di markas. Malam semakin larut, dan bangunan besar itu tampak sunyi di bawah sinar bulan yang pucat. Menggunakan pintu kecil di samping—pintu khusus bagi para pelayan dan budak—Ye Fan melangkah masuk dengan perasaan was-was, tidak menyadari bahwa pintu utama yang megah telah hancur. Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya menghindari hukuman, atau setidaknya bagaimana caranya menahannya tanpa terjatuh.

Namun, begitu ia memasuki lorong utama, suasana aneh mulai menyelimutinya. Biasanya, lorong ini dipenuhi dengan suara obrolan para pelayan dan penjaga yang lalu-lalang, tetapi malam ini… semuanya terasa terlalu sunyi. Langkahnya melambat, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduknya meremang.

Pikirannya mulai diliputi rasa takut. Ia terus berjalan perlahan, hingga pandangannya tertuju pada sesuatu yang tergeletak di lantai lorong. Sesosok tubuh—tidak bergerak, mata terpejam. Ye Fan menahan napas, mengenali wajah itu. Itu adalah salah satu penjaga yang biasanya bertugas memeriksa pelayan dan budak seperti dirinya, sosok yang beberapa kali memukulinya dengan tongkat tanpa alasan jelas.

Ye Fan mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang. Rasa takut bercampur kebingungan mulai merayap dalam benaknya.

“Apa… apa yang terjadi di sini?” pikirnya panik.

Ia berbalik, mencoba mencari jalan keluar, tetapi pemandangan serupa muncul di setiap sudut. Di lantai, beberapa tubuh lainnya tergeletak tanpa tanda kehidupan. Orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari rutinitasnya, wajah-wajah yang sering ia lihat saat ia bekerja atau diomeli—semuanya terbaring diam, tak bergerak, seolah-olah waktu di tempat ini telah terhenti.

Ye Fan berlari, pandangannya kabur oleh ketakutan yang semakin menjadi. Setiap ruangan yang ia masuki, setiap lorong yang ia lewati, pemandangannya tetap sama. Di lantai, tubuh-tubuh yang tergeletak dalam posisi aneh, seperti boneka yang rusak, seolah meninggalkan sisa-sisa kehidupan yang hampa.

Kakinya terus bergerak tanpa arah, hingga akhirnya ia menemukan dirinya di depan sebuah ruangan yang ia kenali dengan baik—ruang ibadah utama. Di ruangan ini biasanya para master roh melakukan doa dan meditasi di bawah pengawasan wakil uskup, Lordia, pria yang selalu mengenakan jubah merah mencolok. Di sini, Lordia sering memberikan pengajaran kepada para pelayan, sekaligus tempat di mana Ye Fan pernah menerima hukuman pukulan atau tamparan.

Dengan tangan gemetar, Ye Fan mendorong pintu ruangan tersebut, berharap menemukan jawaban atau sekadar seseorang yang bisa memberitahunya apa yang sedang terjadi. Namun, apa yang ia lihat di dalam membuatnya terpaku.

Di tengah ruangan, Lordia yang biasanya angkuh dan sombong, kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri. Sosoknya tergantung lemas, dicekik oleh seorang pria berpakaian serba hitam. Wajah Lordia yang biasanya dipenuhi wibawa, kini memancarkan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Tangannya berusaha mencengkeram pergelangan pria itu, namun usahanya sia-sia—kekuatan pria itu jauh melampaui dirinya.

Dalam momen itu, ingatan-ingatan lama berkelebat di benak Ye Fan. Kenangan saat Lordia menghukumnya dengan cambukan hanya karena terlambat satu menit. Saat ia dipaksa membersihkan ruangan ini hingga larut malam, tanpa istirahat, sementara Lordia hanya menatapnya dengan tatapan merendahkan. Semua kenangan buruk itu muncul satu per satu, seolah-olah dikeluarkan dari lubuk hatinya yang terdalam.

Douluo : Saya sudah menjadi title douluo tapi sistem baru datang ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang