Keheningan menyelimuti rumah setelah makan malam yang tegang. Asa berjalan pelan ke kamarnya, menarik napas panjang seolah mencoba mengusir semua beban yang memenuhi dadanya. Namun begitu duduk di tepi tempat tidur, pikirannya langsung melayang jauh, mengingat sosok ayah dan Canny, yang sudah bertahun-tahun tak lagi ia temui. Kenangan itu semakin menekan perasaannya, luka yang ia simpan rapat-rapat seakan mulai terkoyak.
Tok...
Tok...
Tok...
Ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya.
"Asa, boleh aku masuk?" suara Ruka terdengar lembut dari balik pintu.
Asa terdiam sejenak, lalu bangkit dan berjalan membuka pintu.
Ceklek...
Ruka berdiri di sana, memperhatikan adiknya dengan sorot mata penuh perhatian.
"Masuk saja, Kak Ruka," ujarnya pelan, kemudian duduk kembali di tepi tempat tidurnya. Ruka ikut duduk di kursi yang ada di dekat meja belajarnya, tak melepaskan pandangan dari wajah Asa yang nampak sendu.
"Kenapa kamu diam saja tadi? Di meja makan, aku melihat kamu tampak... berbeda," tanya ruka dengan nada lembut, tapi cukup tegas.
Asa menunduk, menahan napas, seolah berusaha keras menahan perasaan yang selama ini ia simpan. Namun, pertanyaan Ruka membuat hatinya goyah.
"Kak... sebenarnya aku sudah terlalu lama menyimpan ini sendiri," suara Asa mulai bergetar, "Aku selalu bertanya-tanya... kenapa waktu itu kita meninggalkan Ayah dan Canny. Kenapa bunda membawa kita pergi tanpa sedikitpun melihat ke belakang..."
Ruka tetap diam, mendengarkan dengan seksama, memberikan Asa ruang untuk meluapkan isi hatinya.
"Kamu tahu, Kak," Asa melanjutkan dengan suara parau, "rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Setiap kali aku mencoba menjalani hidup dengan normal, bayangan ayah dan Canny selalu muncul. Aku rindu mereka... tapi aku juga bingung. Bingung dengan apa yang harus aku lakukan, dan kenapa harus seperti ini."
Ruka mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Asa dengan lembut. "Aku tahu, Asa. Aku juga merasakan hal yang sama. Makanya aku selalu mencari cara untuk menemui Ayah dan Canny, meski sulit dan... sepi rasanya tanpa mereka."
Asa menatap kakaknya, matanya berkilat menahan air mata. Aku kadang merasa bersalah, Kak Ruka. Aku ikut bunda tanpa bertanya apa pun. Hanya mengikuti karena aku tak tahu harus bagaimana. Tapi, semakin dewasa, aku sadar... kita seperti hidup dengan luka yang tak pernah sembuh."
Ruka menghela napas panjang, kemudian berkata pelan, "Kita memang tidak pernah di beri pilihan, Asa. Dan aku tahu ini sulit untukmu. Aku pun merasa terikat dengan janji bahwa suatu hari kita bisa memperbaiki ini. Karena itu, aku akan terus mencari Ayah dan Canny sampai kita bisa kembali menyatukan keluarga kita."
Asa akhirnya tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya jatuh tanpa henti, membawa semua rasa sakit dan rindu yang selama ini ia simpan sendiri. Ruka merengkuh Asa dalam pelukannya, menepuk punggungnya dengan lembut.
"Kak Ruka...." Asa berbisik di antara Isak tangisnya, "bisakah kita benar-benar kembali menemukan mereka?"
Ruka mengangguk dengan mantap "Selama aku masih punya tenaga dan harapan, kita akan bertemu lagi dengan Ayah dan Canny. Kamu hanya perlu percaya, Asa."
Asa mengangguk kecil. merasakan sedikit kelegaan dari semua unek-unek yang akhirnya bisa ia sampaikan. Meski masih ada beban di dadanya, percakapan ini membuatnya merasa tidak sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Bayang Ibu
RandomCanny, seorang gadis kecil berusia lima tahun, harus menghadapi kenyataan pahit setelah di tinggal pergi oleh ibunya dan keenam kakak perempuannya. Hidupnya berputar di sekitar perawatan perawatan ayah yang sakit dan berjuang dengan keterbatasan eko...