Bab 2

289 70 11
                                    


Ruka berdiri di sebuah gang sempit yang penuh kenangan masa kecilnya. Dengan tangan yang memegang secarik kertas alamat lama, ia memandang sekeliling, mencoba mengingat jalan menuju rumah ayah dan adiknya. Meski sudah sepuluh tahun berlalu, ingatan tentang tempat itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.

Namun, setiap langkah yang ia ambil tampak membawa kebingungan baru. Banyak bangunan sudah berubah, dan toko-toko kecil yang dulu ia kenal kini berganti wajah. Ruka mendesah, merasa sedikit putus asa, tapi tidak ingin menyerah begitu saja.

Ia bertanya pada beberapa penduduk sekitar, namun kebanyakan hanya menggeleng, tidak mengenal siapa yang ia cari. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan ini berarti, ia harus menemukan adik bungsunya, Canny dan ayahnya, apa pun yang terjadi.

Sore hari mulai beranjak senja, matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tua. Di sepanjang jalan kecil, Ruka memarkirkan mobilnya memandangi deretan rumah yang hampir seragam dengan harapan menemukan petunjuk kecil akan keberadaan ayah dan adiknya. Ia menghela nafas, memandang ke arah rumah-rumah itu, mencoba mengingat jalan setapak yang dulu begitu akrab.

Di saat yang sama, Canny yang baru pulang sekolah berjalan dengan langkah cepat, melewati mobil Ruka tanpa menyadari kehadirannya. Dengan seragam sekolah yang tampak rapi, ia menggenggam tas dengan erat sambil memikirkan pekerjaan paruh waktunya di minimarket yang sudah menunggunya.

Ruka, yang sedang sibuk memeriksa alamat di kertas lusuhnya, tak menyadari bahwa sosok yang baru saja melintas adalah adik bungsunya yang selama ini ia cari. Begitu pula Canny, yang terfokus pada pikirannya sendiri tidak melihat sosok sang kakak yang ada begitu dekat.

Beberapa detik berlalu, dan ketika Canny telah berlalu jauh, Ruka mengangkat kepalanya, seolah merasa ada sesuatu yang ia lewatkan. Namun, ia tak menemukan apa-apa selain langkah-langkah yang semakin menjauh. Sore itu, mereka hanya terpisah oleh waktu yang sejenak.


Skip



Di minimarket yang sepi sore itu, Canny sedang menyusun barang di rak ketika suara lonceng pintu berbunyi. Ia menoleh dan, tentu saja, mendapati Ella berdiri di ambang pintu dengan senyum lebarnya yang khas.

"Ada apa lagi, Ella?" tanya canny sambil tersenyum kecil, sudah terbiasa dengan kehadiran Ella yang selalu tiba-tiba.

Ella mendekat dengan penuh semangat. "Aku cuma lagi pengen belanja aja. Boleh, kan?" tanyanya sambil mengambil keranjang belanja.

Canny menahan tawa. "Ya boleh lah, kamu kan pelanggan juga."

Tanpa berpikir panjang, Ella mulai memasukkan berbagai barang ke dalam keranjang, Snack, minuman kaleng, bahkan beberapa kotak susu yang biasa hanya dibeli satu atau dua saja. Ia berjalan bolak balik dengan sangat antusias, membuat keranjang yang dibawanya penuh sesak.

Canny terheran-heran. "Kamu beneran mau beli semua itu?"

Ella mengangguk dengan ekspresi serius. "Iya dong, siapa tahu aku tiba-tiba kelaparan di tengah malam. Jadi harus stok!"

Canny hanya bisa tersenyum, mencoba menyembunyikan tawanya. "Kamu tuh aneh banget, Ella. Mau stok makanan atau mau buka minimarket sendiri?"

Ella terkekeh sambil mengambil beberapa permen dari rak. "Kalau aku buka minimarket, nanti kamu mau jadi kasirnya?"

Canny tertawa kecil, geleng-geleng kepala. "Kamu nggak habis-habisnya ya, Ella."

Setelah beberapa menit, Ella menepuk semua belanjaannya di meja kasir, bahkan lebih banyak dari yang bisa dibawa dalam sekali jalan. Ia menatap Canny dengan senyum jahil, sementara Canny memindai barang-barang satu persatu.

Ketika Canny selesai, Ella mengedipkan mata sambil berkata, "Nah, sekarang aku punya alasan buat ngabisin waktu di sini! Kita ngobrol, yuk, aku bantuin kamu beres-beres."

Canny hanya bisa menghela napas, setengah kesal setengah geli. "Kamu ini benar-benar nggak punya kerjaan lain, ya?"

Ella tertawa lepas. "Nggak ada kerjaan yang lebih penting dari pada ngabisin waktu sama kamu!"

Canny tertawa kecil, merasa ada kehangatan di balik kelakuan Ella yang sedikit gila itu. Meski sering kali terasa aneh, perhatian Ella memberi warna di tengah rutinitas kerjaan yang membosankan.

Setelah selesai berbelanja, Canny dan bosnya mengangkut semua barang belanjaan Ella ke dalam mobil bak. Canny, dengan sedikit kebingungan, melihat jumlah barang yang sangat banyak itu. "Kok bisa ya, Ella beli segini banyak?" gumamnya pada dirinya sendiri.

Bos Canny, yang sudah terbiasa dengan kelakuan Ella yang ceria, hanya tertawa. "Kamu tahu sendiri, dia memang begitu. Kadang, dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan kamu."

Karena Canny belum bisa menyetir, ia hanya duduk di samping kemudi sambil bosnya yang mengemudikan mobilnya menuju rumah Ella yang lumayan jauh menempuh sekitar empat puluh menit perjalanan dari minimarket. Di belakang, Ella mengikuti menggunakan mobilnya sendiri, tersenyum ceria dan tampak percaya diri di balik kemudi. Selama perjalanan, Canny tak henti-hentinya berpikir tentang kelakuan aneh Ella yang selalu ingin bersamanya.

Sesampainya di rumah Ella, Canny keluar dan mulai menurunkan belanjaan satu per satu. Begitu sampai di depan pintu, Canny terkejut melihat seorang wanita di depan rumah. Itu ibu Ella yang menyambut dengan senyum lebar, serta enam kakak perempuan Ella yang berdiri di sampingnya. Namun, Canny tidak bisa mengenali siapa mereka.

"Ella! Kembali lagi!" teriak ibunya dengan gembira. "Bawa apa saja kali ini?"

Canny merasa sedikit canggung melihat sambutan hangat itu. "Ini belanjaan Ella," ucapnya sambil menyusun barang-barang di teras.

Ella datang menghampiri, berbisik pelan pada canny, "Mereka excited banget. Ayo, kita bawa masuk!"

Sementara Canny berusaha membantu mengangkat barang-barang, ia merasakan suasana akrab di sekitar rumah Ella. Tanpa sadar, dia memandangi wajah-wajah di sekelilingnya, merasa ada sesuatu yang familiar, tetapi tidak bisa mengingat dari mana.

Di dalam hati kecilnya, Canny merasa sedikit aneh dan tak nyaman, tetapi ia tidak bisa menjelaskan kenapa. Momen ini bagai bayangan Samar yang datang dan pergi, seolah ada sesuatu yang hilang di ingatannya.

Ella melihat kebingungan di wajah Canny dan berusaha mencairkan suasana. "Ayo, kita makan bareng! Mama bikin kue coklat favoritku," ujarnya dengan semangat, mengajak Canny masuk.

Canny hanya tersenyum tipis. "Aku... mungkin ada janji," jawabnya, masih berusaha mengingat.

Meskipun Canny memiliki enam kakak perempuan, ia sulit untuk mengingat wajah mereka yang kini sudah dewasa. Ingatannya tentang mereka sangat samar, mengingat ia berpisah dari keluarganya saat masih kecil. Begitu pula dengan wajah ibunya, yang selalu di ingatnya dalam bayangan Samar. Ayahnya berusaha melindungi perasaan Canny dengan membuang semua foto yang ada di rumah, berharap tidak melukai hati putri bungsunya dengan kenangan yang menyakitkan. Akibatnya, Canny tumbuh tanpa gambaran jelas tentang wajah ibu dan kakak-kakaknya, membuatnya kesulitan untuk mengenali mereka ketika bertemu secara langsung.






Halooo, aku update😁
Maaf ya kalo ceritanya terlalu banyak narasi dari pada dialog, aku kalo di suruh buat dialog gitu kaya planga plongo bingung belum terbiasa soalnya, dialog yang aku buat juga rasanya kaya kaku banget kalo aku baca, jadi mohon maaf ya🙏

Kalo ada yang typo boleh tandain, jangan lupa vote dan komen. Terimakasih.....












Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang