Bab 15

367 79 9
                                    



Malam pukul 19:00

Rumah sakit...

Malam ini, suasana di rumah sakit terasa semakin tegang. setelah beberapa saat, pintu ruangan terbuka perlahan.

Ceklek....

Jennie masuk dengan langkah hati-hati, membawa makanan untuk Ella dan teman-temannya. Ia mendekat ke arah Ella dan berkata, dengan suara lembut, "Ella, mama bawakan makanan untukmu dan juga teman-temanmu. Makanlah dulu."

Ella menatap Jennie, lalu tersenyum sedikit, menerima makanan dengan ucapan terima kasih. "Makasih ma," jawabnya singkat, sedangkan teman-teman Ella juga mengucapkan hal yang sama secara bersamaan, "Terima kasih, Tante."

Jennie hanya mengangguk, namun perhatiannya teralihkan pada Canny yang hanya terbaring diam di ranjang. Matanya terbuka namun tatapan nya kosong, wajahnya yang terlihat sangat pucat, tanpa ada tanda-tanda merespon. Jennie mendekatkan diri sedikit menatap anak bungsunya dengan rasa sakit yang mendalam. Tanpa berpikir panjang, ia bertanya dengan nada cemas, "Apa yang terjadi pada Canny? Kenapa dia hanya diam seperti ini?"

Teman-teman Ella saling berpandangan, tetapi tak ada seorang pun yang tahu apa yang harus dijawab. Mereka hanya menggelengkan kepala. Ella menunduk, merasa sulit menjelaskan keadaan Canny. Dengan suara pelan, ia berkata, "Sejak sadar tadi, Canny hanya diam saja. Tidak ada reaksi sama sekali."

Jennie merasa hatinya hancur mendengar itu. Keinginannya untuk memeluk Canny dan membuatnya merasa aman begitu besar, namun ia menahan diri, takut segala sesuatunya malah semakin rumit jika ia terlalu menunjukkan perasaan di hadapan orang lain.

Di dalam hatinya, Jennie terus bertanya-tanya, Apa sesakit itu luka di hatimu, Nak. Sampai tidak mengenali wajah bunda? Ia memperhatikan setiap inci wajah putrinya, berharap bisa membuat Canny sedikit saja mengenalinya. Ia menyentuh rambut Canny dengan lembut, berharap sekilas perasaan hangat itu bisa tersampaikan meskipun Canny tak memberikan reaksi. Dulu, Canny selalu memelukku, memanggilku dengan senyum lebar. Tapi sekarang, semuanya terasa begitu jauh. Apa dia sudah melupakan semua itu? Apa semua ini sudah terlalu terlambat untuk bunda, Sayang?

Jennie menahan napasnya, mencoba menenangkan dirinya. "Tidak, aku tidak boleh terlalu menunjukkan kekhawatiranku. Ella bisa curiga. Aku harus tetap tenang." batin Jennie

.

.

.

.

.

.

Dua minggu kemudian....

Sudah dua minggu berlalu sejak kepergian ayahnya, namun Canny masih saja mengurung diri. Setiap hari terasa sama baginya, dia hanya duduk di kamarnya, menatap kosong ke luar jendela tanpa keinginan untuk beraktivitas, bahkan untuk sekedar ke sekolah atau tempat kerjanya. Semua ajakan dari teman-temannya, termasuk Ella, ia tolak dengan dingin. Seolah tembok tebal telah ia bangun, menutup diri dari dunia luar.

Sementara itu, di luar rumah Canny, ketiga sosok yang diam-diam memantau adik mereka setiap hari. Ruka, Pharita, dan Asa duduk di mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah sang adik. Dalam hati mereka bergulat antara keinginan untuk menemui Canny dan rasa takut akan reaksi yang mungkin mereka hadapi. Ruka, sebagai kakak tertua, telah berusaha menjaga rutinitas ini setiap hari--sekedar memastikan Canny baik-baik saja meskipun hanya dari kejauhan.

Asa memandang kearah rumah itu dengan mata yang penuh rasa bersalah, "Sampai kapan kita akan terus begini, kak? setiap hari hanya melihatnya dari kejauhan tanpa melakukan apa pun... aku tidak tahan."

Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang