Bab 3

408 86 20
                                    

Di meja makan, kehangatan percakapan antara anggota keluarga perlahan berubah ketika Ella mulai berbicara tentang teman sekolah nya yang bekerja di minimarket. Dengan antusias, Ella bercerita sambil memotong makanannya, membuat semua orang tertarik untuk mendengarkan.

"Temanku yang bekerja di minimarket itu hebat banget, kalian pasti akan kagum! Dia pintar, pekerja keras, tapi... Ada sesuatu yang terasa berbeda darinya. Dia selalu tampak mandiri, seperti memikul tanggung jawab yang terlalu besar untuk anak seusianya." Ucap Ella.

Pharita mengangguk, tertarik. "Teman seperti itu pastinya sangat kuat, ya. Kalau kamu ingin bawa dia kesini suatu saat, kami semua pasti senang bertemu dengannya."

Ella tersenyum dan mengangguk, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Rami dan Rora sudah ikut menyela dengan canda mereka.

"Ella, jangan-jangan kamu terinspirasi banget sama temanmu ini sampai selalu cerita soal dia tiap hari?" Celetuk rami

"Iya, tuh! Tapi serius deh, teman kamu ini kayaknya keren banget. Kapan-kapan kamu bawa dia ke sini, ya?" timpal rora yang juga penasaran dengan teman yang Ella ceritakan

Mereka semua tertawa kecil, menikmati momen itu. Namun, di tengah percakapan itu, Jennie tampak terdiam sejenak, seolah-olah ada sesuatu yang melintas di pikirannya dari deskripsi seorang gadis yang kuat, mandiri, dan memikul tanggung jawab besar di usia muda. Bayangan putri bungsunya tiba-tiba muncul, gadis kecil yang pernah ia tinggalkan bersama ayahnya bertahun-tahun lalu.

Jennie menundukkan wajah, wajahnya berubah sedikit muram. "Temanmu itu... pasti sudah mengalami banyak hal, ya? Terkadang ada anak-anak yang terpaksa tumbuh lebih cepat karena keadaan."

Sehun menoleh ke arah istrinya, menyadari perubahan di wajahnya. Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, Asa yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba mendesah pelan, hampir berbisik, namun penuh dengan emosi yang tertahan.

"Tentu saja. Beberapa orang memang harus tumbuh lebih cepat karena ada yang memilih untuk pergi dan meninggalkan mereka." Ucap Asa dengan sedikit menahan emosinya

Suaranya dingin, dan tatapannya tetap menunduk ke arah piringnya, namun kata-kata itu seolah melukai ruang di sekitar mereka. Jennie tertegum, dan suasana di meja makan seketika berubah hening. Semua mata perlahan mengarah ke Asa, yang terlihat semakin tertekan.

Sehun, yang melihat Asa terlihat murung sejak awal makan malam, mencoba meredakan suasana. Dengan lembut ia berkata, "Asa, ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan? Kamu tahu, kamu bisa bicara dengan kami jika ada yang mengganggumu."

Namun Asa hanya diam, matanya mulai memerah. Ia menahan emosi yang terpendam sejak lama. Tanpa sepatah kata, ia akhirnya meletakkan garpu dan sendoknya bangkit dari kursinya, meninggalkan meja makan dengan cepat. Kepergiannya meninggalkan keheningan yang mengusik hati semua orang.

Pharita dan Ella saling memandang dengan cemas, Rami dan Rora yang tadinya bercanda pun ikut terdiam. Sementara itu, Jennie masih terpaku, tampak terguncang. Kata-kata Asa tadi kembali terngiang di kepalanya, mengingatkannya pada keputusan yang pernah ia buat, keputusan yang kini membayangi hidupnya dan tanpa ia sadari, menghantui anak-anaknya yang tersisa.

Sehun menghela napas panjang, menyadari ada luka yang belum terungkap di antara mereka. "Semoga Asa baik-baik saja. Dia pasti menyimpan banyak hal yang belum sempat di ceritakan."

Mereka semua melanjutkan makan dalam keheningan, namun suasana di meja terasa jauh berbeda dari beberapa menit yang lalu. Bayangan masa lalu dan ketidakpastian yang tersisa menggantung di hati masing-masing, seolah menanti waktu untuk mengungkapkan rahasia yang telah lama tertutup.

.

.

.

.

.

Setelah membantu Ella dan bosnya mengantar belanjaannya, Canny pulang ke rumah dengan langkah lelah. Sinar lampu rumah yang remang-remang menyambutnya, seperti biasa, namun malam ini terasa ada yang berbeda. Saat membuka pintu dan memanggil ayahnya, tidak ada jawaban. Canny melangkah masuk, dan seketika ia terpaku. Di depannya, ayahnya tergeletak tak berdaya di lantai ruang tamu, wajahnya pucat dan tubuhnya dingin.

"Ayah!" Canny segera berlari dan mengguncang tubuh ayahnya yang lemah, namun tidak ada respon. Panik, ia meraih ponselnya dan menghubungi ambulans, suaranya gemetar penuh kecemasan. Tak lama, bunyi sirine memecah keheningan malam, membawa ayah Canny menuju rumah sakit.



Rumah sakit...

Di rumah sakit, Canny duduk di ruang tunggu, menunggu dengan cemas kabar tentang kondisi ayahnya. Perawat akhirnya datang dan menjelaskan bahwa kondisi ayahnya memerlukan perawatan intensif. Namun, saat ia di beritahu biaya yang harus dibayar, hatinya berdesir. Jumlahnya tidak sedikit, jauh melampaui apa yang bisa ia kumpulkan dari pekerjaan paruh waktunya. Pandangannya terarah ke lantai, otaknya memutar cepat, mencoba mencari cara agar ia bisa menyelamatkan ayahnya di tengah keterbatasan.

Di ruang tunggu rumah sakit yang sepi, Canny duduk terdiam, pikirannya berputar-putar. Sejenak, ia menutup matanya, berusaha menenangkan diri, tetapi kekhawatiran akan ayahnya dan biaya rumah sakit terus menghantui pikirannya.

Canny menatap lantai. Berusaha keras mencari jalan keluar. Tak mungkin ia terus-terusan meminta bantuan dari bosnya. Selama ini, bosnya sudah terlalu sering membantunya, membiarkan canny bekerja paruh waktu, bahkan memberinya uang lebih ketika keadaan keluarganya sangat terdesak. Tapi kali ini berbeda, biaya rumah sakit ini terlalu besar.

"Aku harus cari cara lain... Tapi dari mana?" Batin canny. Napasnya memburu, dan ia meremas jemarinya, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya.

Ia mengingat-ingat kembali semua orang yang pernah membantunya, teman-teman sekolah, bahkan tetangga. Namun, tak ada dari mereka yang bisa ia repotkan untuk hal sebesar ini. Setiap kali ia mengira bisa meminta bantuan, pikirannya selalu kembali pada ayahnya yang hanya bergantung padanya.

Canny menghela napas "Ayah... Canny pasti cari cara. Canny gak akan nyerah."

Tak lama, ponselnya bergetar, dan nama bosnya tertera di layar.

📞 Bos canny

"Canny, apa kamu baik-baik saja? Tadi aku dengar dari temanmu di minimarket kalau ayahmu di bawa ke rumah sakit. Aku bisa bantu sedikit kalau kamu butuh."

"Terima kasih, pak, tapi... Saya gak mau merepotkan bapak lagi. Saya sudah terlalu sering dibantu. Kali ini, saya mau coba cari cara sendiri."

"Canny, kamu itu sudah seperti anak sendiri bagiku. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan bilang."

"Saya mengerti, pak, terima kasih... Mungkin kalau ada pekerjaan tambahan, saya bisa melakukannya."

"Baiklah. Tapi, jangan terlalu keras pada diri sendiri, ya? Ingat, ayahmu pasti ingin kamu sehat."

Setelah telepon berakhir, Canny menggenggam ponselnya erat. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu, meski belum tahu pasti apa yang bisa ia lakukan di tengah keterbatasannya.



Kalo ada yang typo boleh tandain ya, semoga kalian suka.





Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang