Bab 7

407 77 2
                                    



Suasana di meja makan itu semakin sunyi. Ella terus bercerita dengan penuh kekaguman terhadap Canny, tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajah saudara-saudaranya. Setiap kata tentang Canny seakan membuka kembali luka lama yang selama ini mereka coba lupakan.

Pharita, yang biasanya anggun dan tenang, mendadak tampak terdiam dengan tatapan sendu. Ingatan tentang ayah yang dulu begitu sabar dan penuh perhatian terhadap ketujuh putrinya muncul di benaknya. Ia bisa mengingat saat-saat ayah mereka mengendong Canny yang tertidur, mengayunkannya perlahan agar tidak terbangun. Seketika, rasa rindu pada ayahnya menyusup ke dalam hati Pharita, membuat senyumnya perlahan memudar.

Ahyeon yang duduk tak jauh dari Pharita mencoba menahan emosinya, tetapi tak bisa menyembunyikan perubahan pada wajahnya. Sosok ayah yang penuh perhatian dan seorang adik kecil yang manis dan ceria tiba-tiba hadir di benaknya. Dia teringat bagaimana ia dan Canny selalu tertawa bersama. bermain hingga matahari tenggelam. Sesuatu yang selama ini ia pikir bisa ia abaikan kini mulai mengusik hatinya.

Rami dan Rora, yang biasanya penuh canda dan seringkali saling melempar gurauan di meja makan, tiba-tiba kehilangan semangat. Ekspresi mereka berubah dari keceriaan menjadi sendu. Bagi Rami, ingatan tentang ayah yang sering menasehati nya dengan lembut terasa begitu nyata. Ia merasa sesak, membayangkan adik bungsu mereka sendirian menghadapi cobaan berat. Sementara Rora, meski terkenal sosok yang random dan sering membuat ulah, tak bisa menyangkal bahwa hatinya terasa pilu. Kenangan tentang masa kecil mereka bersama ayah dan Canny membekas, membuatnya terdiam.

Dalam kebisuan yang tak terucap itu, seluruh keluarga tenggelam dalam ingatan tentang masa lalu yang tidak mudah mereka hapus. Setiap anggota keluarga memiliki cerita yang mereka simpan dalam hati, dan pagi ini, semua perasaan itu menyeruak ke permukaan, tak terhubung.

Sehun memandang istrinya dan anak-anaknya dengan penuh keheranan, menyadari bahwa percakapan yang awalnya santai kini menyentuh sisi yang lebih dalam. Tetapi ia memilih untuk tetap diam, merasakan bahwa keluarganya membutuhkan waktu untuk memahami perasaan yang lama terpendam.

Sementara itu, Ella masih bercerita, tanpa menyadari perubahan pada saudara-saudaranya. "Aku senang bisa berteman dengan Canny. Dia mengingatkanku untuk selalu bersyukur dan kuat..."

Kata-kata Ella meluncur ringan, namun setiap kalimat yang ia ucapkan seakan-akan adalah cambuk bagi ibunya dan saudara-saudaranya, membangkitkan kenangan dan perasaan bersalah yang selama ini mereka coba lupakan.

                            ***********

Setelah sarapan, Ruka ingin menemui Asa di kamarnya. Ruka mengetuk pintu kamar Asa dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang memperhatikan. Matahari siang masuk melalui celah-celah tirai di kamar Asa, menciptakan bayangan yang tenang namun terasa mencekam di balkon kamarnya.

Di luar, Asa sudah menunggu, menyenderkan diri pada pagar balkon dan menatap jauh ke langit siang yang cerah. Ruka berjalan mendekat berdiri di sampingnya, dan sejenak keduanya terdiam dalam pemikiran masing-masing.

"Asa, apa kamu benar-benar yakin mau melakukan ini?" bisik ruka pelan, menatap Asa dengan ragu.

Asa menghela napas, lalu mengangguk kecil. "Aku hanya ingin memastikan, Kak. Kalau benar dia adalah Canny... adik kita..."

Ruka menunduk, perasaannya bercampur aduk antara rindu dan takut. Asa mungkin terlihat dingin, tapi Ruka tahu, di balik sikap itu ada luka lama yang masih menganga.

"Tapi bagaimana kalau kita ketahuan?" tanya Ruka lagi. "Bagaimana kalau... kalau dia sudah tidak mengingat kita?"

"Setidaknya aku ingin tahu, Kak. Kita hanya perlu memastikan, tanpa perlu membuat kegaduhan." Asa memalingkan wajah, suaranya nyaris tak terdengar. "Jika benar dia... kita tidak bisa membiarkannya begitu saja."

Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang