Bab 9

345 69 9
                                    


Setelah memastikan pria yang dirawat itu adalah ayahnya, Ruka berjalan dengan langkah gontai menuju parkiran. Ia masuk ke mobil, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, namun matanya tetap merah dan sembab. Ketika Pharita dan Asa bertanya, ia hanya membalas dengan diam yang terasa seperti dinding besar di antara mereka. Mobil pun mulai melaju, meninggalkan rumah sakit, tapi pikiran Ruka berputar dengan begitu banyak tanya yang menghantui.

"Apa aku benar-benar siap menghadapi ayah? Bagaimana jika ayah masih menyimpan rasa kecewa pada kami yang pergi. Meninggalkannya? Dan Canny... adik kecilku yang dulu, apa dia masih mengingat kami dengan baik, atau justru menyimpan dendam?" Ruka menelan ludah, mencoba menekan rasa sesak yang memenuhi dadanya.

"Setelah sekian lama, pantaskah aku kembali, seakan semua baik-baik saja? Aku bahkan tidak tau bagaimana wajah Canny sekarang, bagaimana kehidupannya tanpa kami. Apa dia... apa dia akan membenciku jika kami bertemu?" Pikiran Ruka di penuhi ketakutan dan penyesalan, seolah waktu yang berlalu hanya menambah jurang antara dirinya dan adiknya yang ia tinggalkan dulu.

Di kursi depan, Pharita kembali bertanya, suaranya pelan namun penuh harap. "Kak Ruka... apa benar... itu ayah kita?"

Namun, Ruka hanya menggeleng pelan. seolah mencoba menahan gejolak perasaannya. Ia bahkan tak sanggup melihat adik-adiknya. Ia hanya menggenggam kemudi dengan erat, berusaha memproses semua yang baru saja dilihatnya.

Asa dengan suara lebih tegas bertanya pada Ruka. "Kita punya hak untuk tau, kak. Jangan diam seperti ini. Beri kami jawaban."

Tetapi ruka tetap bungkam, hingga akhirnya mereka tiba di rumah. Ruka keluar dari mobil dengan langkah terburu, masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan apa-apa, meninggalkan Pharita dan Asa di ambang pintu. Asa, yang sudah tak bisa menahan rasa frustasinya, berjalan cepat mengejar Ruka dan menarik lengannya.

"Kak, sampai kapan mau diam? Kita sudah tau ada sesuatu yang besar. Jelaskan pada kami!" ucap Asa

Ruka berhenti, membuang napas panjang, tapi tak menatap Asa.

"Itu ayah kita, Asa. Dia sakit parah. Dan Canny... dia ada di sana, menjaga ayah sendirian selama ini." ucap ruka dengan suara bergetar.

Pharita menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan air matanya. Asa yang biasanya bersikap dingin, tampak terpukul dan kehilangan kata-kata.

Pharita berkata dengan suara lemah, "Kenapa kita... kenapa kita harus menemukan mereka dalam keadaan seperti ini?"

Ruka hanya bisa memandang adik-adiknya dengan rasa bersalah yang tak terkatakan, menahan perasaan hampa yang semakin dalam.

Ketiganya masuk ke rumah dengan langkah gontai. Ruka masih terdiam, matanya menyiratkan beban yang berat. Asa terlihat seperti orang linglung, pikirannya di penuhi kebingungan yang tak mampu ia ungkapkan. Sementara Pharita tampak shock, wajahnya pucat setelah mendengar pertanyaan Ruka yang menguak kenyataan yang tak pernah mereka duga.


Di sudut ruangan, Jennie memperhatikan dari kejauhan, ekspresi bingung di wajah ke tiga putrinya. Ia mendekat dengan langkah perlahan, merasa ada sesuatu yang tak biasa dari ketiga putrinya. "Ada apa? Kalian kenapa? Apa terjadi sesuatu?"

Ruka hanya menunduk, menolak menatap ibunya, Pharita, yang biasanya lembut dan sabar, kali ini tampak dingin. Asa, yang di kenal paling tegar di antara mereka, justru menunjukkan ekspresi yang penuh emosi. Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka bertiga saling memandang, dan satu persatu mulai melangkah menjauh, meninggalkan ibunya yang berdiri termenung.

Jennie hanya bisa memandang kepergian mereka dengan tatapan kosong, merasa semakin bingung. Ia berdiri terpaku, menatap punggung ketiga putrinya yang perlahan menjauh. Perasaannya bercampur aduk antara kekhawatiran dan kebingungan. "Apa yang telah terjadi?" Batin Jennie, matanya masih menatap tanpa berkedip.




Di kejauhan Ruka menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak untuk menguatkan dirinya.

"Kenapa aku tak bisa mengatakannya? Kenapa semua terasa begitu rumit?" Ruka membatin dengan penuh kesedihan, merasa semakin hampa. Pharita dan Asa hanya bisa diam, menyadari bahwa apa yang mereka alami baru saja mengubah banyak hal dalam hidup mereka, termasuk perasaan mereka terhadap ibu yang kini terlihat semakin asing.

Setelah percakapan singkat dengan ibu mereka, masing-masing kembali ke kamar dengan pikiran yang berkecamuk. Namun Ruka, yang awalnya berniat untuk beristirahat, tiba-tiba mengubah niatnya. Ia duduk sejenak mengambil napas dalam-dalam, lalu berdiri kembali dan melangkah keluar dari kamarnya.

Dengan langkah mantap, ia menuju kamar adik-adiknya, satu per satu memanggil mereka untuk berkumpul di kamarnya. Ahyeon, Rami, dan Rora saling berpandangan, kebingungan dengan permintaan Ruka yang mendadak. Pertemuan malam hari ini bukanlah sesuatu yang biasa bagi mereka, apalagi tanpa alasan yang jelas. Di sisi lain, Asa dan Pharita, yang telah mengetahui kenyataan pahit tentang ayah dan adik bungsu mereka, tampak diam namun paham. Mereka mengerti apa yang akan di bahas oleh Ruka.

Di dalam kamarnya Ruka duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan pikirannya. Asa dan Pharita masuk terlebih dahulu, duduk di lantai dengan tatapan serius, sementara Ahyeon, Rami, dan Rora menyusul dengan langkah ragu, membawa perasaan bingung yang bercampur dengan sedikit kegelisahan. Semua perhatian kini tertuju pada Ruka, yang sedang memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikan apa yang telah ia temukan--kenyataan yang tak hanya mengguncang hatinya, tetapi juga akan mengubah pandangan mereka tentang masa lalu dan keluarga.

.

.

.

.

.

Malam pukul 23:00

Rumah sakit....

Di tengah malam yang sunyi, hanya suara mesin medis yang terdengar halus di ruangan itu. Canny duduk di kursi kecil di samping ranjang ayahnya, wajahnya terlihat lelah tapi penuh perhatian. Teman-temannya, termasuk Ella, telah ia minta pulang lebih awal. Meskipun mereka enggan meninggalkannya sendirian, Canny bersikeras. Bahkan ia sampai mengancam akan menolak bantuan mereka jika mereka tetap bertahan di rumah sakit. Akhirnya, dengan berat hati, mereka menuruti permintaannya.

Sekarang Canny sendirian. Dalam kesunyian malam itu, ia memandangi wajah ayahnya yang tampak pucat dan lemah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang tak henti menghantui pikirannya.

"Ayah... Aku tidak siap... aku tidak tau apa yang akan terjadi kalau ayah pergi. Aku tidak punya siapa-siapa lagi." Hatinya berbisik, dan matanya mulai berkaca-kaca. Canny menggenggam tangan ayahnya yang terasa dingin. Keberanian yang biasa ia tunjukkan perlahan memudar, digantikan oleh ketakutan dan kesedihan mendalam.

Tak lama, kelelahan fisik dan emosional akhirnya menguasai tubuhnya. Tanpa ia sadari, kelopak matanya terpejam, dan ia tertidur, kepalanya bersandar pada tepi ranjang ayahnya, napasnya teratur dalam lelap yang lelah.





Di saat Canny tertidur, seseorang masuk keruangan itu, langkahnya pelan dan hati-hati. Bayangan sosok itu mendekat berdiri di samping tempat tidur sambil memandang Canny dan Ayahnya. Ia menunduk, melihat wajah Canny yang kelelahan, menanggung beban yang seharusnya tak perlu ia pikul sendirian.

Dengan lembut orang itu mengulurkan tangan dan mengelus kepala Canny, menyibakkan sedikit rambut dari wajahnya. Perasaannya bercampur antara rasa sayang dan sesal yang mendalam. Sambil terus memandang Canny, ia berbisik dalam hati, "Maafkan kakak, Canny. Kakak terlambat..." Ucapnya tertahan, dan tanpa disadari, setetes air mata jatuh dari pipinya, membasahi ujung rambut Canny yang tertidur lelap.





Selamat membaca.

Gak tau ini, alurnya nyambung apa gak? semoga kalian suka, kalo ada yang typo boleh tandain.

Terima kasih😁


















Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang