8. Siapa Yang Mau Rugi?

333 90 61
                                    


Happy baca 💚
Sorry for typo 🍓
.
.
.


"Rugi di kamu dong, Gis, emang udah siap jadi jendes? Belum lagi dosanya, nikah kok buat mainan."

Kalimat Kika masih terngiang di kepala Gistara. Semua yang diucapkan sahabat baiknya itu mutlak benar adanya. Lagian siapa juga yang mau menikah cuma untuk dijandakan? Belum lagi risiko kecipratan dosanya, kan?

Maka, muncul premis di dalam kepala Gistara, kalau bisa menaklukkan orangnya, otomatis semua yang ada pada Erlan pasti juga bakal tercurah padanya. Lagipula siapa duluan uang mencetuskan ide gila menyoal pernikahan kontrak? Erlangga kira ini dunia Wattpad atau novel, kah? Semudah itu mendeklarasikan ide di luar nalar?! Ngayal babunya kebangetan pikiran laki-laki satu itu.

Premis dalam pikiran Gistara berkembang membentuk plot yang serta merta menciptakan rencana yang tersusun rapi. Oke, setelah berpikir keras, usai brainstorming bersama Kika, maka Gistara putuskan akan menerima tawaran Erlangga. Terima saja dulu, urusan nanti akan dipikirkan lagi sembari menyusun siasat.

Menikah ... tanpa cinta? Apa itu cinta? Gistara tidak menganut paham pacaran. Relationship before married lebih banyak merugikan pihak cewe. Selama ini dalam doanya Gistara selalu meminta dipertemukan jodoh tanpa harus melewati proses pacaran. Kemarin saat Erlangga meminta bertemu lantas mengungkapkan tawarannya, Gistara jadi tercengang sendiri. Apa ini bentuk dari pengabulan doa-doanya selama ini? Ah, Gistara melupakan nasihat bahwa ; kalau berdoa itu yang spesifik, jangan asal mengucap atau meminta.

"Bikin Kak Erlan jatuh cinta sama kamu, Gis?" Adalah komentar Kika yang kembali terngiang di benak Gistara. Awalnya sempat meragu, tapi, setelah memikirkannya ratusan kali, tidak ada salahnya mencoba menerima tawaran Erlangga Putra Danapati.

"Tara, Mama masuk ya!" Ketukan pintu di depan kamar Gistara disertai suara sang mama menginterupsi fokus Gistara. Helaan napasnya menguar pelan.

"Iya, Ma," sahutnya pelan.

"Gis, mama mau bicara penting."

Gistara yang fokus menatap layar komputer jinjingnya mengalihkan pandangan ke arah sang mama, "Bicara apa, Ma?" Sebenarnya masih ada dongkol yang meruangi hati. Gara-gara mama dan papa lepas tangan, tidak memikirkan nasib putri semata wayangnya yang sedang dalam deraan masalah. Gistara tahu, marah sama orangtua itu tidak baik, tapi sikap mereka yang acuh tak acuh menciptakan rasa kesal di batin Gistara.

"Cemberut saja kamu ini, Tara?" Sepertinya sang mama menangkap sinyal ngambeknya Gistara. Perempuan mendekati usia lima puluh tahunan itu memonitor wajah sang putri dengan intens.

Gistara mengubah posisi, dari berbaring tengkurap di ranjang, menjadi duduk bersandar pada kepala bed. "Tara kecewa sama mama, sama papa, kenapa enggak ada yang mau bantuin masalah Tara?" Air merebak menghiasi kedua bola mata Gistara.

Sang mama mendekat ke sisi Gistara. Tangannya bergerak mengusap kepala sang putri disertai senyum teduhnya. "Bukan seperti itu, Tara, justru karena mama papa sangat peduli, mau Tara lebih baik lagi, makanya kali ini mama papa kasih kesempatan buat Tara buat problem solving sendiri."

Tangis Gistara pecah. "Tapi dari mana uang segitu banyaknya, Ma? Tara enggak ada tabungan sama sekali, semuanya udah habis buat bayar ganti rugi, itu juga kurang banyak." Nelangsa menghantam perasaan Gistara. Merasa hidup tak adil, di saat dia memiliki sepasang orangtua yang bisa dibilang sukses dalam pekerjaan, tidak kekurangan apa pun, tapi rasanya kok minus empati pada putrinya sendiri.

"Kalau mama sama papa selalu turun tangan setiap Tara ada masalah, terus kapan Tara bisa belajar dari kesalahan, Nak?" Mamanya masih menebar afirmasi positif. Perempuan itu mengubah posisi usapan yang tadi di kepala Tara berpindah ke punggung Gistara.

BamboozleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang