18. in the other side

453 94 72
                                    


Happy baca 💚
Sorry for typo 🍓
.
.
.



Seumur-umur baru kali ini Erlan merasakan pahitnya espresso sampai menembus jantung. Kalimat papanya Tara barusan menjadi andil besar kegetiran yang singgah di hatinya. Jadi imam salat? Kalau saja lawan bicaranya adalah Gistara, pasti Erlan tidak akan segan melontarkan cecaran, "Are you kidding me?!"

Masalahnya ini yang bicara Om Andrew Padmaja, papanya Gistara. Sudah pasti, barang tentu Erlangga tidak berani bersikap kurang ajar di depan ayah gadis yang sebentar lagi akan diklaim menjadi istri - meski sebatas kontrak. Merujuk pada sikap jaim alias menjaga imej, Erlangga Danapati tidak ingin dinilai sebagai laki-laki cemen yang enggan menerima tantangan. Kalimat Om Andrew bernada perintah itu dia aminkan lewat anggukan tanda setuju.
Padahal Erlan belum tahu, bagaimana tata cara menjadi imam salat.

Lantas, sekarang Erlangga dikepung cemas. Bagaimana caranya jadi imam salat?
Salat Jumat yang seminggu sekali saja seringnya masbuk. Kok ini malah disuruh jadi imam. Pikiran Erlan langsung semrawut, sibuk mencari ide bagaimana caranya bisa hapal, lancar serta tartil saat nanti menjadi imam salat.

Hah! Enggak bapak, enggak anaknya, kenapa dua-duanya bikin sakit kepala sih? Gistara dengan segala sikap spontannya saja sudah membikin kepala Erlan puyeng, sekarang ketambahan dengan Andrew Padmaja.

Lagipula apa susahnya sih? Tinggal bilang iya - atas wacananya ingin melamar Gistara. Harusnya Andrew Padmaja senang, kan? Anak gadisnya sebentar lagi akan menyandang status sebagai istri.

Erlangga pikir semuanya akan berjalan sesuai ekspektasi yang ada di kepalanya. Ternyata realitanya jauh berbeda. Tidak semudah yang dibayangkan meruntuhkan tembok pertahanan calon papa mertua.

Pukul sepuluh malam Erlan berhasil lepas dari cengkraman Andrew Padmaja. Obrolan keduanya berkahir ketika Erlangga menerima panggilan telepon. Lelaki itu pamit tepat setelah meneguk seruputan terakhir espressonya. Berjabat tangan dengan Om Andrew, dia bisa merasakan tekanan kuat jari-jari papanya Gistara, seakan lewat rekatan tangannya ingin memastikan Erlan menanggapi serius permintaannya.

Mobil yang dikendarai Erlangga meninggalkan pelataran rumah Gistara. Bukan pulang ke rumah tapi ke apartemen ingin menemui Naima. Ada beberapa hal yang harus Erlan ceritakan pada kekasihnya itu.

Usai konfrontasi sore tadi, Naima tanpa sadar menggores lengannya sendiri menggunakan pecahan gelas yang tak sengaja dia lempar. Anxiety-nya kambuh setiap kali didera emosi berat. Erlan bisa memahaminya, pasti tidak mudah jadi Naima. Di saat perempuan itu ingin diseriusi, tapi terhalang restu sang mama menjadi jalan terjal bagi keduanya. Perempuan mana yang tidak sakit hati, ketika cowonya terang-terangan menyatakan ingin menikahi gadis lain? Tak terkecuali dengan Naima.

"Nai," panggil Erlan begitu kakinya menapak di lantai unit apartemen Naima. Ruang tamu tampak temaram, Naima mematikan lampu utama, menggantinya dengan lampu gantung yang agak redup. Kaki Erlan menapaki anak tangga, menuju lantai dua letak kamar Naima berada.

Benar saja, saat menguak pintu kamar, Erlan langsung ditubruk pelukan Naima.

"Katanya cuma sebentar, tapi sampai jam segini, Mas?" Protes  Naima langsung mencuat.

Erlan balas belitan tangan itu tak kalah erat. "Maaf ya, tadi masih ada urusan sebentar. Kamu gimana, sudah lebih baik?" Yang ditanya mengangguk dibarengi senyum.

"Jangan pulang ya, di sini aja temani aku, Mas." Naima masih belum melepas kaitan tangannya.

Erlangga bimbang. Pasti yang paling rempong adalah mamanya kalau tahu Erlan tidak pulang ke rumah. Setelah tahu hubungan Erlan dengan Naima, jiwa posesif mananya seakan hidup beribu kali lipat. Setiap kali Erlan tepat pulang, belasan pesan singkat, juga puluhan panggilan telepon akan menyambangi ponsel Erlangga.

BamboozleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang