Chapter 19

330 62 5
                                    

Terlepas dari rasa malunya yang terlihat jelas, Sasuke memutuskan untuk mengantar Hinata pulang. Sesampainya di sana, Hinata menekan punggungnya ke pintu. Sasuke terkejut melihat mata pucat Hinata yang penuh tekad.

Hinata sebenarnya merasa cemburu. Ia marah! Sial, ia ingin memukul Sasuke! Namun, yang perlu Sasuke lakukan hanyalah menciumnya, dan yang lebih parah... Ia membalas ciuman itu. "Itu telah terjadi," Sasuke mengingatkan Hinata.

"S-Sasuke," Hinata memulai. "Aku tidak bisa bersamamu."

"Karena aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anak kita?" tanya Sasuke.

"Y-ya!" Hinata menjawab.

"Dan jika aku tidak menginginkannya?" Sasuke memasukkan tangannya ke dalam saku. "Jika aku tidak menginginkanmu dengan cara seperti itu."

Hinata mengusap lengannya dan menghela napas. "Aku... Maksudku–"

"Apa kau mau bersamaku?"

Mata Hinata menunduk menatap sandalnya. "Sas–"

"Apa kau mau bersamaku?" Sasuke mendesak.

Mulut Hinata terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Sedikit kerutan di alis Sasuke menunjukkan kesabarannya yang semakin menipis. "Aku... aku tidak tahu! Apa kau tahu?"

"Kalau aku menginginkanmu dengan cara lain?" Sasuke menebak. Pewaris klan Hyuuga itu mengangguk. Sasuke menghela napas. "Kau seharusnya mengerti bahwa–"

"Berhenti!" Hinata menyela. Tak ada lagi pelajaran hidup yang membingungkan. Tak ada lagi jawaban yang tidak langsung. "Ya atau tidak?" lanjutnya.

Seringai licik muncul di wajah Sasuke. Ia melangkah maju sampai Hinata terjebak di antara dirinya dan pintu. "Ya."

Hinata memalingkan wajahnya. "K-kau jahat."

"Mm." Sasuke meletakkan dagunya di atas kepala Hinata.

"D-dan dingin dan egois," Hinata menambahkan. "K-kau tidak peduli pada orang lain."

"Aa."

"Kau m-menguntitku."

Sasuke menggigit lidahnya. Itu bukan menguntit. Ia tidak menguntit Hinata! Ia hanya mengikutinya. Mengikuti. "Aa."

Pewaris Hyuuga itu menarik napas gemetar. "Bisakah kita menjadi t-teman saja?"

Sasuke mendengus. "Tidak."

"T-tapi Sa–"

"Teman tidak berciuman," potongnya. Sasuke merasakan upaya lemah Hinata untuk mendorong dadanya. "Menurutmu, apa kau sudah cukup menahan diri?"

"Tidak! Maksudku... Y-ya, aku tidak tahu." Hinata begitu bingung, dan itu membuat kepalanya sakit, atau mungkin itu karena Sasuke.

Aroma Sasuke, mungkin. Kenapa ia belum pernah menyadarinya sebelumnya. Oh, benar. Ia belum pernah menempelkan wajahnya ke dada Sasuke sebelumnya. Bagaimana seseorang bisa beraroma seperti ini? Seperti badai dan... api?

Atau mungkin bukan aroma romantis seperti itu, melainkan kenyataan bahwa dagu Sasuke menekan bagian atas kepalanya. "Aku tidak tahu... mungkin?" bisik Hinata.

Sasuke menunduk untuk menatap Hinata. "Kurasa kau tahu."

Hinata tidak mau menyerah pada semua yang ia ketahui hanya karena tekad Sasuke. Bagaimana ia bisa mengalahkannya? Hidup Sasuke terdiri dari tujuan, yang semuanya berhasil pria itu capai. Pikiran itu membuat hati Hinata mencelos.

"A-apa kau pernah m-menyerah?"

Sasuke meletakkan tangannya di kepala Hinata. "Itu bukan jalan ninjaku," godanya. Mata Hinata membelalak melihat pria itu. "Tapi kurasa itu bukan jalan ninjamu juga, kan?"

Hinata mengangguk dengan gembira. "Hai!"

"Sayang sekali, aku lebih kuat," ungkap Sasuke.

Hinata tidak bisa menahan diri untuk tidak cemberut. Lalu apa? Apa hubungannya kekuatan dengan semua ini!? Ia benar-benar bisa menghindari Sasuke... mungkin dengan pindah ke Suna. Namun, Sasuke pasti akan menemukannya.

"Kau tidak punya pilihan lain," kata Sasuke.

"Aku punya!" bantah Hinata. "Aku..."

Sasuke menyilangkan lengannya. "Aku tidak mengerti hubungan yang tidak berkaitan dengan reproduksi, kau tahu."

Atau hubungan yang sehat, pikir Hinata. Hinata berhasil menahan diri untuk tidak memutar mata. "Oh?" katanya.

"Aku tidak berencana mengubah–"

"Sasuk–" Hinata menggelengkan kepala.

"Biar kuselesaikan dulu," katanya. "Seperti yang kubilang, aku tidak berencana mengubah itu, tapi aku lebih suka menunggu sampai kau siap. Tidak ada orang lain lagi yang bisa kutoleransi."

Toleransi, pikir Hinata dengan kesal.

Sasuke mengangguk seolah-olah bisa membaca pikiran Hinata. "Itu berarti aku punya waktu untuk memahami, dan juga berarti aku akan menikahimu."

Ini adalah titik di mana keheningan menjadi berat. Hinata berkedip beberapa kali sebelum mencoba bernapas dengan benar. Mungkin telinganya tidak berfungsi karena kedengarannya seperti–

"Jadilah istriku, Hinata."

Hinata batuk keras ketika paru-parunya mulai berfungsi kembali. "K-kau bahkan tidak bertanya dulu!"

Sasuke menghela napas. "Jika aku bertanya, kau akan punya pilihan untuk mengatakan tidak, dan itu jelas bukan pilihan, jadi–"

Hinata menggelengkan kepala lagi. "T-tidak! Tidak," ulangnya. "Kau tidak bisa memerintahku untuk menikahimu begitu saja."

Sasuke mengusap pelipisnya. "Jika aku bertanya dengan cara tradisional, kau akan bilang ya?"

"Ya."

Mata oniksnya berputar. "Menikahlah denganku..?"

"Tidak." Hinata menjawab cepat.

Sasuke memindahkan Hinata dari pintu, membukanya, dan menariknya masuk. "Dan kenapa tidak? Kita sudah cukup umur. Kau pasti mencintaiku sekarang?" tanyanya dengan kasar.

"Kau t-tidak mencintaiku..." Hinata menarik dirinya dari Sasuke.

"Dan bagaimana kau bisa begitu yakin?" tantang Sasuke.

Mulut Hinata sedikit terbuka. "A-apa kau?"

Sasuke menutup matanya dan menyilangkan tangan. "Tidak. Tentu saja tidak."

Dada Hinata naik turun beberapa kali sebelum ia bisa mengatur napasnya. "Itulah sebabnya," gumamnya.

Sasuke berjalan melewati Hinata menuju pintu. "Aku hanya pernah mengenal kebencian, kau tahu?" katanya, membuka pintu. "Tapi aku bersedia belajar yang lain."

Hinata berbalik menghadap Sasuke "Sasuke... Aku tidak–"

Sasuke melemparkan seringai mengejek pada Hinata. "Kau hanya punya dua pilihan, Hinata. Lanjutkan permainan ini atau menikah denganku... yang mana saja menguntungkan bagiku."

Dan dengan itu Sasuke menutup pintu di belakangnya. Hinata mencubit lengannya dengan keras. Ia pasti bermimpi! Ini pasti mimpi buruk, kan?

Kan?

TBC

Taking A HintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang