BAB X. MELARIKAN DIRI

6 0 0
                                    

Rintik hujan membasahi jendela kamar hotel mewah itu, irama yang kontras dengan detak jantung Karin yang berdebar-debar. Dia menatap bayangannya sendiri di kaca, wajah pucat dan mata yang sedikit syahdu. Sudah seminggu ia terkurung di sini, di dalam sangkar emas yang dibangun Leon, pria yang katanya akan menjadi calon suaminya namun juga sedang memenjarakannya.

"Leon," panggilnya lirih, suaranya sedikit bergetar. Dia mendengar langkah kaki berat mendekat, lalu sosok tinggi besar Leon muncul di ambang pintu. Senyumnya, yang selalu terasa dingin dan sedikit mengancam.

"Leon, aku... aku rindu orang tuaku. Aku mau pulang" ucap Karin sambil menatap Leon, dengan tatapan memelas.

Leon tersenyum sinis. "Pulang? Kamu pikir sesederhana itu? Kamu sekarang milik saya, Karin."

"Mau sampai kapan aku dikurung di sini? Aku merindukan mama sama papa. Aku... aku mau mereka tahu aku baik-baik saja" kata Karin, melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kamu baik-baik saja. Kamu aman di sini. Saya yang menjagamu. Tidak ada yang bisa menyakitimu. Kecuali...saya" suara Leon berubah menjadi lebih berat.

Terdengar helaan napas Karin yang kasar. "Kamu tahu? Ini sudah termasuk penculikan."

Leon mendekat, mencengkeram dagu Karin. "Saya tidak menculik wanita yang akan menjadi calon istri saya. Ini hanya cara saya melindunginya agar selalu aman. Kamu tidak pernah mengerti akan hal seperti ini."

Karin mendecih. "Ini penculikan. Dan kamu mencuri kebebasanku juga."

Leon melepas cengkeramannya. Namun, tatapannya tetap tajam. "Kamu tidak akan pernah meninggalkan hotel ini."

"Leon, bagaimana kita bisa menikah kalau aku terus-terusan terkurung di sini? Aku harus mencoba gaun pengantin" Karin menggigit bibirnya. Ia tahu ucapannya ini sia-sia. Leon tidak akan pernah goyah hanya mendengar gaun pengantin dan kemudian melepaskannya. Karin hanya bisa berharap keajaiban terjadi.

......

Rintik hujan masih setia menemani Karin. Syahdunya cuaca di siang hari semakin mempertegas suasana hatinya. Ponselnya mati, layar hitam pekat seakan mencerminkan harapannya yang juga padam. Karin mencoba mengingat-ingat terakhir kali ia mengisi daya, ternyata sudah dua hari yang lalu. Pikirannya kalut. Bagaimana caranya menghubungi orang tuanya? Bagaimana ia memberi tahu mereka bahwa dirinya baik-baik saja? Kebohongan Leon-kabar sepihak yang disampaikannya kepada orang tuanya-semakin menggerogoti hatinya. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh benang-benang tak kasat mata, benang-benang yang dipegang erat oleh Leon.

Karin mencoba mendekati Leon, hatinya berdebar-debar. Leon sedang duduk di sofa, menatap layar laptopnya dengan ekspresi dingin. Karin menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian.

"Leon,"suaranya hampir tak terdengar. Leon mendongak, tatapannya tajam. "Ada apa lagi?"

"Ponselku... ponselku mati," ujar Karin, ia agak berhati-hati mengajak Leon berbicara. "Aku mau mengisi daya ponselku. Aku mau menghubungi orang tuaku."

Seulas senyum sinis mengembang di bibir Leon. "Kamu tidak perlu menghubungi siapapun. Saya sudah memberi tahu mereka bahwa kamu baik-baik saja. Mereka tidak perlu khawatir."

"Sebentar saja, Leon!" Karin membentak, suaranya sedikit lebih keras dari biasanya. "Aku mau mereka mendengar suaraku sendiri."

Leon berdiri, mendekat ke Karin. "Kamu tidak mempercayai saya? Saya sudah menyampaikan itu ke orang tua kamu, bahwa kamu baik-baik saja. Apa masih kurang?" Ia meraih ponsel Karin dari tangan Karin, lalu melemparkannya ke atas meja. "Dan kamu tidak akan mengisi daya ponsel itu."

Karin menatap ponselnya dengan putus asa.

"Dasar pria gila" batin Karin.

Leon menatap bayangannya di kaca, wajahnya tegang. Ucapan Karin tentang gaun pengantin masih bergema di kepalanya, sebuah gema yang terasa seperti ancaman sekaligus godaan. Ia membayangkan Karin dalam gaun putih itu, indah dan rapuh, dan sebuah rasa kepemilikan yang gelap membuncah dalam dirinya. Namun, di balik kepemilikan itu, ada setitik kekhawatiran. Raut wajah gadis itu mulai terlihat bosan dan menampakkan wajahnya yang sangat tidak bergairah karena sudah cukup lama terkurung di dalam kemewahan hotel ini, seperti burung dalam sangkar emas.

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang