BAB VI. AMBISI SANG PEWARIS (PART II)

7 2 11
                                    

Karin terbangun dengan perasaan lelah dan malas bercampur aduk menjadi satu. Liburan semesternya telah berakhir, dan ia harus kembali ke rutinitas kuliah yang padat. Namun, ada satu hal yang membuat Karin semakin stres, yaitu Leon.

Sejak acara makan malam keluarga itu, Leon semakin gencar menunjukkan sikap posesifnya. Laki-laki itu selalu ada di sekitar Karin, menjemputnya untuk kuliah, mengantarkannya pulang, dan bahkan lebih gila lagi, Leon ikut serta dalam kegiatan kampus Karin.

Leon selalu punya alasan untuk mendekati Karin, seperti; "Saya hanya ingin memastikan kamu aman dalam pandangan saya" katanya.

Namun, Karin merasa terkekang oleh sikap posesif Leon. Ia merasa seperti burung dalam sangkar. Leon seperti bayangan yang selalu mengikutinya, mengawasi setiap langkahnya. "Leon, aku butuh ruang" kata Karin, suaranya terdengar lelah.

"Apa maksudmu?" tanya Leon dengan tatapannya yang tajam.

"Aku mau fokus sama kuliahku" jawab Karin. "Aku nggak bisa terus-terusan diawasi sama kamu".

Leon mendekat, menutup jarak di antara mereka. "Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja" bisik Leon, napasnya hangat di telinga Karin.

"Aku baik-baik saja" kata Karin, mencoba untuk menjauh. Karin merasa semakin gila dibuatnya.

.......

Setelah mengantar Karin ke kampus, Leon melajukan mobilnya menuju Noble Company. Leon memarkir mobilnya di depan kantor, menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Di balik kaca jendela yang berkilauan, terlihat para pekerja yang sibuk dengan rutinitas mereka. Leon tersenyum sinis, bayangan ambisinya terlukis di matanya.

"Karin sudah berada di genggamanmu" bisik Leon pada dirinya sendiri, menarik napas dalam-dalam.

Leon tidak merasakan cinta, tidak ada gairah yang membara di hatinya. Hanya kepuasan atas kemenangan yang ia rasakan. Karin, dengan segala perlawanannya yang sia-sia, akhirnya akan menjadi miliknya. Leon membayangkan dirinya sebagai suami Karin, akan memimpin dua perusahaan sekaligus dan keduanya akan menjadi miliknya. Leon telah merencanakan semuanya dengan cermat, setiap langkahnya telah diperhitungkan dengan teliti.

"Tidak akan ada lagi penolakan" gumam Leon, menarik kursi dan duduk di balik meja kerjanya.

Leon membuka laptopnya, menelusuri dokumen-dokumen penting. Strategi perebutan perusahaan ayah Karin sudah mulai tergambar di benaknya. Ia akan memanfaatkan posisi sebagai suami Karin menguasai perusahaan dari dalam, kemudian menyingkirkan ayah Karin dengan halus.

Leon menyeringai. Ia bahkan tidak peduli dengan perasaan Karin. Baginya, Karin hanyalah alat untuk mencapai tujuan keluarganya sekaligus ambisinya. Leon tidak akan membiarkan Karin dekat dengan laki-laki manapun, termasuk adiknya, Kay.

"Saya tidak akan membiarkan siapa pun mengacaukan rencana yang sudah tersusun rapi ini" kata Leon dengan suara yang terdengar penuh ambisi.

Leon menyadari bahwa dirinya harus terus mengawasi Karin, mengendalikannya dengan ketat. Leon tidak akan memberi kesempatan kepada Karin untuk sendiri, karena gadis itu bisa saja memikirkan cara untuk melarikan diri dari perjodohan ini dan berusaha keluar dari jebakan yang sudah ia buat secara matang.

"Saya akan menjadikanmu milik saya sepenuhnya, Karin" bisik Leon, matanya berkilat tajam.

Leon mulai memikirkan strategi baru. Ia akan menggunakan rasa posesifnya untuk mengendalikan Karin. Leon akan membuat Karin merasa terkekang, terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, sehingga gadis itu tidak akan berani untuk menentang atau melawannya.

"Kamu akan menjadi milik saya, Karin" ulang Leon, suaranya penuh dengan keyakinan. Leon menutup laptopnya, tatapannya kembali tertuju pada gedung pencakar langit di luar sana. Ia tahu bahwa jalan menuju kekuasaan penuh dengan jebakan dan bahaya. Tetapi dirinya yakin, dengan strategi yang tepat dan dengan Karin di sisinya, ia akan mencapai puncak kesuksesan menjadi pewaris dan penguasa.

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang