XII. KEPEMILIKAN YANG KUAT

6 0 0
                                    

‼️‼️‼️🔞🔞🔞‼️‼️‼️

Karin membuka kemasan ponsel itu. Logo merk ponsel itu terlihat jelas. Ponsel yang cukup mahal. Ia memasukkan kartu SIM dan menghidupkannya. Setelah beberapa saat, layar ponsel menampilkan menu utama. Karin membuka menu kontak. Dan jantungnya berdebar kencang. Tertera satu nomor kontak di sana: Leon.

“Leon?” bisiknya, matanya melebar tak percaya. Raut wajah Karin terlihat seperti bercampur aduk antara rasa penasaran dan rasa gugup.

“Apa ini dari Leon? Kenapa tiba-tiba dia mengirim ponsel?” pikirnya, jari-jarinya masih terpaku pada layar ponsel. Rasa bingung memenuhi hatinya.

Karin masih tertegun, menatap layar ponsel yang menampilkan nama Leon. Sejuta pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah ini memang dari Leon? Apa maksudnya? Dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya?

........

Jari Karin gemetar, tetapi dengan tekad yang membara, ia menekan ikon panggilan di samping nama Leon. Detak jantungnya berpacu liar. Nada sambung yang dingin dan mekanis terasa seperti penghitung mundur menuju takdir yang tak pasti.

“Tenang, Karin,” bisik Karin pada dirinya sendiri, suaranya serak. Kenangan malam mengerikan itu kembali menghantuinya; kegelapan, kekangan, dan tatapan Leon yang dingin dan penuh kendali. Ponselnya yang tertinggal di hotel—bukti nyata dari malam mengerikan itu—kini menjadi alat untuk menghubungkannya kembali dengan sang penculik.

Panggilan itu tersambung, nada dering yang tajam menusuk keheningan kamar. Karin merasakan kembali sebuah ketegangan yang mencekam, campuran rasa takut dan hasrat yang tak terjelaskan.

“Halo?” suara Leon terdengar, dalam, berat, tetapi juga… menarik.

Karin menarik napas dalam-dalam,  mencoba menenangkan diri. “Leon,” suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia harapkan. “Ini aku, Karin.”

Di ujung sana, terdengar helaan napas Leon yang kasar. Sejenak hening, hanya diselingi oleh detak jantung Karin yang masih berdebar kencang.

“Saya tahu,” jawab Leon, suaranya terdengar lebih dekat, lebih intim,  seakan-akan ia berada tepat di samping Karin. “Saya tahu. Kamu akan menghubungi saya.”

Sebuah senyum tipis mengembang di bibir Karin, sebuah senyum yang dipenuhi dengan campuran rasa takut dan gairah yang berbahaya.

“Apa aksi melarikan dirimu sudah selesai?” suara Leon terdengar pelan, namun setiap kata menusuk seperti pisau. “Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja? Meninggalkan saya? Kamu salah besar.”

Keheningan singkat mencengkam, hanya diselingi oleh napas Karin yang tersengal.

“Leon… aku...,” belum sempat Karin membela diri.

Leon memotong ucapannya, “Kamu seharusnya takut,” suaranya seperti bisikan iblis. “Takut akan apa yang akan saya lakukan kalau kamu terus bermain-main dengan saya.”

Karin merasakan bulu kuduknya merinding. Ia membayangkan tatapan Leon yang dingin dan penuh kendali, sentuhannya yang kasar namun juga membangkitkan gairah yang mengerikan.

“Leon… aku minta maaf,” Karin gugup, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku nggak bermaksud…”

“Minta maaf?” Leon memotongnya,  suaranya sedikit lebih keras. “Minta maaf atas apa? Karena telah menguji kesabaran saya?

Karin terdiam. Kata-kata Leon, sekeras dan setajam apapun,  menimbulkan getaran aneh dalam dirinya. Sebuah campuran rasa takut dan hasrat yang tak terjelaskan.

“Kamu tahu, saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan,” Leon melanjutkan, suaranya berubah menjadi sedikit lebih lembut, lebih menggoda. “Dan saya menginginkan kamu. Sepenuhnya.”

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang