XIII. DI BALIK GAUN PENGANTIN

3 0 0
                                    

Karin menatap bayangannya di cermin. Gaun hitam yang dikenakannya tadi malam masih tercium aroma Leon. Aroma yang awalnya membuatnya jijik, kini… menenangkan. Ia menyentuh dadanya, merasakan debaran jantungnya yang tak menentu.

“Aku suka sama Leon?” Pertanyaan itu muncul lagi, menusuk hatinya seperti pisau. Nggak mungkin. Dia jahat. Dia cuma lagi bermain peran.”

Namun, ingatan akan sentuhan Leon, ciumannya, kata-kata bisikannya yang penuh godaan, semuanya memenuhi pikirannya. Ia mengingat bagaimana Leon mengendalikannya, namun juga bagaimana ia merasa diinginkan. Bagaimana Leon membuatnya merasa hidup.

“Ini salah,” Karin berbisik pada diri sendiri. “Aku nggak boleh suka sama dia. Dia pasti ada rencana terselubung.”

Karin merasa tidak mampu menghentikan dirinya sendiri. Sentuhan laki-laki itu mulai membuatnya candu. Ini semakin berbahaya. Bahkan, Karin lupa membuat pagar pertahanan diri, agar dirinya tidak terlalu hanyut dalam permainan Leon.

Sementara itu, di sisi lain, Leon tersenyum sinis sambil menatap ke layar laptopnya. Di dalam pikirannya terlintas tentang perubahan Karin yang mulai melunak padanya.

“Dia hampir menyerah,” Leon bergumam dalam hati, suaranya dingin dan penuh kepuasan.  “Segera… dia akan sepenuhnya menjadi milik saya.”

......

Aroma lavender dan lily menguar lembut di udara, bercampur dengan wangi parfum mahal yang samar-samar tercium dari balik tirai-tirai beludru. Butik itu sunyi senyap, hanya terdengar gemerisik kain sutra dan langkah kaki Karin yang ragu-ragu di atas lantai marmer yang dingin. Cahaya lampu kristal yang temaram menciptakan bayangan-bayangan panjang di dinding, menambah kesan megah sekaligus mencekam bagi Karin.

Deretan gaun pengantin berjajar anggun di balik kaca-kaca etalase, bagai barisan peri yang tertidur. Gaun-gaun itu berkilauan, dihiasi renda, mutiara, dan kristal Swarovski yang memantulkan cahaya dengan gemerlap. Setiap gaun tampak sempurna, seperti mimpi yang diwujudkan dalam bentuk kain. Namun, keindahan itu justru membuat Karin semakin terintimidasi.

Ia merasa seperti seekor burung pipit yang tersesat di tengah kawanan merak. Sederhana, kecil, dan sama sekali tidak pada tempatnya. Pernikahan ini, gaun-gaun ini, semua ini terasa begitu asing dan menyesakkan.

Jari-jarinya gemetar saat menyentuh kain tulle yang lembut. Ia tidak bisa membayangkan dirinya terbungkus dalam lautan renda dan sutra, berjalan di altar bak ratu kerajaan. Dalam pikiran Karin, ia masih seorang mahasiswi yang tiba-tiba dijebloskan ke dunia yang sama sekali tidak ia inginkan saat ini.

Ketegangan mencengkeram ulu hatinya. Ia melirik Leon yang duduk di sofa beludru di sudut ruangan. Lelaki itu tampak tenang dan dingin, seperti biasa. Wajahnya yang tampan bak pahatan dewa Yunani sama sekali tidak menunjukkan emosi. Ia seperti singa yang sedang mengawasi mangsanya, dan Karin merasa seperti tikus kecil yang tak berdaya.

"Nona Karin, ayo kita mulai," suara perancang gaun memecah keheningan.

Karin tersentak. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.

"Baik," jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.

Dengan langkah gontai, Karin mengikuti perancang gaun menuju ruang ganti. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya terikat oleh rantai tak kasat mata.

......

Karin menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya menjadi pucat pasi, menunjukkan raut tidak percaya kalau dirinya akan segera menikah, kontras dengan gaun pengantin mewah yang membalut tubuhnya. Gaun putih itu dihiasi renda dan mutiara, dengan ekor yang panjang menyapu lantai. Ia terlihat seperti putri dalam dongeng, namun Karin merasa lebih seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang