V. AMBISI SANG PEWARIS (PART I)

22 7 13
                                    

Karin terduduk di tepi ranjang, punggungnya menempel pada sandaran kepala, matanya menatap kosong ke luar. Di seberangnya, Leon duduk di sofa, tangannya menggenggam gelas berisi wiski yang hampir kosong. Keduanya terdiam, di antara mereka terbentang jurang kesunyian yang terasa lebih berat dari kegelapan malam.

Udara di ruangan terasa menyesakkan, dipenuhi oleh aroma parfum Leon yang tajam dan aroma tubuhnya yang memabukkan. Karin merasakan tatapan Leon padanya, tajam dan menusuk, seperti pisau yang siap mengiris kulitnya.

"Kamu tahu" suara Leon terdengar rendah dan serak. "Saya suka melihatmu takut."

Karin menelan ludah, kering dan pahit. Gadis itu tidak berani menoleh, takut akan tatapan Leon yang membakar. "Aku tidak takut" bisiknya, suara gadis itu hampir tidak terdengar.

Leon menyunggingkan senyum sinis. "Karin, kamu begitu naif. Kamu takut sama saya, saya tahu itu".

Leon bangkit dari sofa dan mendekati gadis itu. Karin merasakan tubuhnya menegang, setiap ototnya menegang seperti tali busur yang siap melepaskan anak panah. Leon berhenti tepat di hadapannya, wajahnya terpancar dalam bayangan samar lampu kamar.

Karin merasakan ini bukan seperti dirinya sendiri. Ia yang biasa selalu melawan dan membantah apapun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Namun, sekarang Karin merasa seolah kehilangan kendali atas dirinya sendiri, terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. Rasa putus asa ini membuatnya merasa rentan, terjebak dalam permainan yang tidak bisa dia menangkan.

"Kamu tahu saya bisa melakukan apa saja padamu" bisik Leon, napasnya hangat di wajah Karin. "Kamu tidak punya pilihan."

Leon menunduk, bibirnya hampir menyentuh bibir Karin. Gadis itu bisa merasakan napas Leon yang hangat menelusuri kulitnya. Aroma wiski dan parfumnya semakin kuat, membuat Karin merasa pusing.

Namun, Karin mengangkat tangannya, menahan wajah Leon. "Tidak!" ucap Karin dengan suaranya yang sedikit bergetar. "Jangan!"

Leon menatap Karin dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa terkejut dan amarah yang terpancar dari matanya.

"Kamu tidak bisa menolak saya, Karin" bisik Leon, suaranya teredam oleh amarah yang terpendam.

"Aku bisa" jawab Karin, suaranya lebih tegas dari sebelumnya. "Aku nggak mau!"

Karin merasakan tubuhnya menegang. Ia tahu bahwa dirinya sedang bermain api, tetapi ia harus melawan. Karin tidak akan membiarkan Leon terus-terusan mengendalikannya hidupnya.

Leon menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan amarahnya. "Karin" katanya. "Kamu tahu saya bisa melakukan apa saja padamu".

"Aku nggak peduli" jawab Karin datar menatapnya.

Leon menatapnya lama, seperti sedang membaca jiwanya. Akhirnya, laki-laki itu menarik napas dalam-dalam dan melepaskan Karin.

"Kamu akan menyesal" bisik Leon sebelum berbalik dan berjalan menuju jendela.

Jantung Karin berdebar kencang. Ia tahu bahwa dirinya telah memenangkan pertempuran kali ini, tetapi perang masih jauh dari usai. Karin masih terjebak dalam permainan berbahaya dengan Leon, dan ia tidak tahu sampai kapan dirinya bisa bertahan.

......

Terlihat mobil Rolls Royce Phantom berwarna hitam memasuki pekarangan rumah Karin dan berhenti di depan rumah gadis itu. Udara siang hari meski terik tapi terasa segar, menyingkirkan sisa-sisa ketegangan yang masih terasa di dalam dirinya. Karin melirik ke arah Leon yang sedang menenteng barang-barang bawaan mereka keluar dari bagasi mobil.

"Terima kasih" kata Karin, suaranya terdengar datar.

Leon mengangkat alis. "Tidak masalah" jawab Laki-laki itu. "Kamu baik-baik saja?"

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang