XI. KEBEBASAN

6 0 0
                                    

Leon terduduk di tepi ranjang, tubuhnya menegang, seperti siap menerjang. Wajahnya pucat pasi, mata merah sembab, menunjukkan kelelahan dan frustasi yang mendalam. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, jari-jarinya meninggalkan bekas merah di kulitnya. Bayangan Karin terus menghantuinya, membuat dadanya sesak. Ia ingin Karin, ingin memilikinya sepenuhnya, dan rasa kepemilikan itu begitu kuat hingga membuatnya gelap mata. Tangannya mengepal erat, urat-urat di tangannya menegang, menunjukkan amarah yang terpendam. Namun, sikap ini terlalu membingungkan untuk Leon. Apa ini sungguh rasa sukanya atau tantangan untuk menaklukkan gadis pemberontak?

"Karin di mana kamu? Apa sedang berada di rumah? Atau kamu lari ke suatu tempat yang jauh? Tapi ke mana pun kamu lari, saya akan menemukanmu" batin Leon, sambil mengepalkan tangannya.

"Sialan!" Suara serak dan penuh amarah. Ia menendang sebuah kursi kecil di dekatnya, menunjukkan frustasinya yang memuncak.

Bunyi pintu yang terbuka mengagetkannya. Kay masuk, langkahnya tenang, namun terlihat ragu-ragu.

"Kak? Kamu baik-baik saja?" tanya Kay sedikit memelankan suaranya.

Leon berdiri tegak, tubuhnya menegang, menunjukkan dominasinya. Ia menatap Kay dengan tatapan tajam, mengintimidasi, mencari-cari celah untuk melampiaskan amarahnya.

"Ada perlu apa?" tanya Leon dengan suara terdengar dingin.

"Aku mendengar Noble Company sedang ada masalah. Apa itu benar?" tanya Kay.

Leon menghela napas, berusaha mengatur amarahnya. "Sedikit ada masalah. Tidak perlu khawatir, saya bisa menanganinya."

Kay menatapnya dan mengangguk mencoba untuk mengerti. "Lalu, apa kamu mendengar kabar Karin, Kak? Aku sudah mencoba menghubungi Karin berulang kali, tapi... tapi dia tidak menjawab." Postur tubuh Kay menunjukkan betapa khawatir dirinya pada gadis itu.

"Peduli apa dia pada gadis itu?" batin Leon, menatap adiknya.

"Mungkin dia sedang sibuk," kata Leon, suaranya datar, mencoba menyembunyikan sesuatu. Ia berusaha agar suaranya terdengar tenang, tapi ada getaran yang tak bisa disembunyikan.

Kay menggelengkan kepala, menunjukkan ketidakpercayaannya. "Tidak, ini tidak seperti Karin biasanya. Dia selalu membalas pesanku, apalagi kalau aku menghubunginya beberapa kali."

"Kamu berusaha mengganggu calon istri saya?" Leon menatap Kay tajam.

"Tidak...bukan seperti itu, Kak. Dia calon kakak iparku, aku juga harus mengenalnya dengan baik."

Leon menoleh sekilas. "Mungkin ponselnya mati" suara laki-laki itu masih datar.

Kay mendekati Leon, menunjukkan kecurigaannya yang semakin besar. "Aku khawatir, Kak. Ada sesuatu yang tidak beres." Ia menatap Leon, mencari jawaban dari kakaknya.

Leon menghela napas panjang. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, bahwa dirinya lah yang sudah mengurung gadis itu selama satu minggu di sebuah kamar hotel. Rahasianya terlalu besar, terlalu berbahaya untuk diungkapkan.

"Tenanglah, Kay," kata Leon, suaranya sedikit lebih lembut, tapi tetap berusaha terdengar tenang. "Dia akan baik-baik saja. Jangan khawatir berlebihan." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang terlihat dipaksakan, menunjukkan betapa ia berjuang untuk menyembunyikan kebenaran. Ia tahu, kebohongan ini akan semakin membesar, dan akan semakin sulit untuk ditutupi. Tapi untuk saat ini, ia harus tetap menjaga rahasianya.

.......

Karin duduk di ayunan balkon, merasakan angin malam yang sejuk membelai wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Bayangan Leon dan semua kejadian yang menyertainya datang silih berganti, dan ia tahu ia harus mengendalikan pikirannya sebelum terjebak dalam kegalauan yang lebih dalam.

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang