XIV. KENDALI DAN PERLAWANAN

3 0 0
                                    

Cahaya matahari pagi menembus tirai sutra yang halus, menyelimuti ruangan dengan kehangatan lembut. Rumah itu terkesan mewah dan terorganisir dengan baik, dengan pelayan-pelayan yang berlalu lalang.

Ruangan itu penuh dengan perabotan elegan, dengan karpet mewah yang menutupi lantai marmer berwarna putih. Lukisan-lukisan berbingkai emas menghiasi dinding, dan di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja makan besar dari kayu mahoni, dihiasi dengan vas bunga segar yang diletakkan dengan hati-hati di tengahnya.

Meskipun semuanya terkesan sempurna, suasana yang ada di dalam ruangan itu terasa kaku, penuh ketegangan yang tak terucapkan.

Harris, ayah Karin, duduk dengan tenang bersama putrinya untuk sarapan, sesekali melirik ke arahnya. Setiap gerakannya memancarkan ketenangan dan kendali, namun Karin tahu betul bahwa di balik sikap tenangnya itu, terpendam ambisi besar yang mendorongnya untuk memastikan segalanya berjalan sesuai rencana.

“Apa kamu sudah siap untuk meninjau La Bohème, Karin?” Harris bertanya dengan suara tenang, namun nada yang keluar tetap menunjukkan ketegasan.

Karin hanya diam sejenak, menatap cangkir porselen di depannya. Aroma caffe latte yang baru diseduh menguar di udara, berbaur dengan aroma roti bakar yang mulai terhidang di meja sebelah.

Para pelayan, yang tampaknya sudah terlatih untuk tidak mengganggu percakapan, bekerja dengan hati-hati di sekitar mereka, namun Karin merasa semakin terperangkap dalam ruang yang elegan ini.

“Iya, Pa,” jawabnya akhirnya, dengan suara rendah. Meski begitu, matanya yang masih muda itu menyembunyikan sejuta pertanyaan. Dia menginginkan kebebasan, tetapi keputusan-keputusan besar ini selalu diambil untuknya, dan tanpa izin darinya.

Harris mengangguk, tidak menduga adanya ketegangan yang bersembunyi dalam kata-kata Karin. “La Bohème itu hotel yang sangat terkenal di sini, dekornya juga sangat elegan. Kamu pasti menyukainya, kan? Papa tahu kamu menyukai hal-hal yang bernuansa Paris.”

Karin menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang ingin ia luapkan. Sebuah tempat mewah dan romantis memang sangat sesuai dengan ekspektasi orang tuanya tentang pernikahan yang ideal. Hanya saja, ia tahu betul bahwa semua ini tidak lebih dari permainan yang telah ditentukan, dan dirinya hanyalah pion di dalamnya.

“Paris memang indah,” Karin berkata pelan, matanya menatap keluar jendela, pada taman hijau yang rapi di luar. “Tapi aku... tidak tahu apakah ini benar-benar yang aku inginkan.”

Ayahnya mengangkat pandangan dari koran yang sedang dibacanya. “Apa maksudmu, Karin? Ini adalah kesempatan bagus untuk kita, dan untukmu. Kamu tahu betul bahwa ini adalah keputusan terbaik, bukan hanya untuk pernikahanmu, tapi juga untuk masa depan keluarga kita. Semua ini untuk kepentingan perusahaan kita, Karin.”

Suara Harris terdengar lebih tegas, seperti sedang mengingatkan putrinya akan posisi dan tanggung jawab yang harus dia emban. Karin menahan napas. Ia bisa merasakan tekanan itu kembali, seperti sebuah beban yang ditimpakan padanya tanpa ruang untuk bernafas.

Namun, ia tahu bahwa tidak mudah untuk melawan ayahnya—terutama dengan cara mereka hidup yang sudah terbiasa dengan kemewahan dan status tinggi.

“Papa, aku tahu kita semua ingin yang terbaik, tapi...” Karin merasa kata-katanya terjebak. Ia ingin mengatakan bahwa ia ingin memilih jalan hidupnya sendiri, tetapi setiap kali dia mencoba, ayahnya akan dengan mudah menghentikan percakapan ini dengan dalih yang membuatnya merasa bersalah.

Harris tersenyum kecil, tapi senyumnya itu lebih seperti senyum penuh kemenangan. “Kamu tidak perlu khawatir, Karin. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu. Dan ini adalah bagian dari proses itu. Leon juga pasti menyayangimu, dan aku tahu dia akan menjaga kamu dengan baik.”

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang