XV. PERMAINAN DUA KAKI

14 5 2
                                    

Alfred dan Harris duduk di ruang makan mewah yang menghadap ke taman luas di rumah pribadi Alfred Barnard.

Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela besar memberi kesan hangat, meskipun percakapan mereka sebenarnya sangat jauh dari itu.

Mereka berbicara dengan senyuman ramah di wajah mereka, namun kata-kata yang mereka tukar penuh dengan ketegangan tersembunyi.

Alfred tersenyum kecil, meletakkan gelas anggur di atas meja. "Wisdom Company benar-benar menginspirasi, Harris. Saya selalu kagum dengan cara kamu bertahan dalam persaingan, bahkan tanpa terlibat dalam proyek-proyek besar. Kadang, sederhana itu memang lebih aman, bukan?"

Harris tertawa kecil, tetapi matanya tajam. "Ah, terima kasih atas pujiannya, Alfred. Tapi saya rasa kita semua tahu, hanya perusahaan yang tahu kapan harus mengambil risiko yang bisa bertahan dalam jangka panjang. Tentu saja, risiko itu harus diperhitungkan dengan matang, bukan hanya sekadar ambisi."

Alfred tersenyum datar, melipat tangan di depan dada. "Ambisi memang harus didukung oleh strategi. Itulah mengapa Noble Company tidak pernah takut untuk menjadi pelopor. Tapi saya yakin, Wisdom Company juga tidak akan mau melewatkan kesempatan emas jika melihat peluang besar, bukan?"

Harris menyandarkan punggung ke kursi, tetap dengan senyuman.
"Peluang itu selalu ada, Alfred. Tapi saya selalu percaya, lebih baik mengambil langkah hati-hati daripada terburu-buru dan berakhir menjadi bahan pembicaraan publik." Ia menatap Alfred sekilas, memberi kesan sarkas yang tipis namun tajam.

Alfred tertawa kecil, menyesap anggurnya. "Benar sekali. Kita harus bijak memilih langkah, terutama saat sedang menjadi sorotan. Namun, dalam bisnis sebesar ini, tidak ada ruang untuk keraguan. Saya yakin Wisdom Company setuju dengan prinsip itu."

Harris dengan ekspresi ramah, tetapi kata-katanya penuh sindiran.
"Tentu saja. Kita harus mengambil langkah-langkah besar, terutama ketika kita berada di posisi yang lebih aman. Tapi saya yakin Noble Company tidak pernah merasa ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?"

Alfred tersenyum tipis, tatapan matanya menjadi lebih tajam. "Tentu saja tidak. Noble Company selalu punya cara untuk menghadapi tantangan, bahkan yang datang tanpa peringatan. Tapi terkadang, kerja sama yang strategis bisa menjadi solusi terbaik. Seperti dalam hubungan anak-anak kita, misalnya."

Harris mengerutkan kening sekilas sebelum tersenyum lagi. "Kamu benar, Alfred. Kerjasama yang strategis selalu membawa hasil terbaik, terutama jika kedua belah pihak bisa saling mendukung. Saya rasa pernikahan Karin dan Leon bisa menjadi langkah yang saling menguntungkan untuk kita."

Harris mengangguk pelan, namun dalam hatinya ia tahu pernikahan itu adalah tameng untuk keperluannya yang terselubung.

Alfred mengangkat gelas anggurnya untuk bersulang bersulang. "Untuk masa depan yang cerah, Harris. Dengan dukungan Wisdom Company, saya yakin kita akan melangkah lebih jauh."

Harris mengangkat gelasnya juga, tersenyum licik. "Dan saya yakin Noble Company juga akan mendapat keuntungan dari hubungan ini. Untuk masa depan keluarga kita, Alfred."

.....

Kay berdiri diam di balik pintu kayu tebal ruang makan pribadi itu. Tangannya berada di saku celana, tetapi otot-ototnya tegang, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kay datang ke tempat itu awalnya hanya untuk mencari Alfred, ayahnya, dengan alasan sepele. Namun, suara percakapan dari dalam ruangan membuat langkahnya terhenti.

“Peluang itu selalu ada, Alfred. Tapi saya selalu percaya, lebih baik mengambil langkah hati-hati daripada terburu-buru dan berakhir menjadi bahan pembicaraan publik.”

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang