episode 7

2 2 0
                                    

Aku duduk di ruang tamu, memandang sekeliling rumah yang biasanya penuh tawa dan canda, kini terasa begitu hening. Hening yang menyesakkan, membuat udara terasa lebih berat dari biasanya. Setiap langkahku di rumah ini seperti berjalan di atas pasir yang rapuh, setiap suara terdengar begitu keras, seperti gemuruh di telinga. Ibu sibuk di dapur, tapi aku tahu, dia tidak benar-benar berada di sana. Matanya yang tidak pernah berhenti bergerak, menatap setiap sudut rumah, seolah menghindari kenyataan. Aku tahu dia kuat, tapi bagaimana bisa dia terus tegak saat segalanya mulai runtuh?

Ayah... kondisinya semakin buruk. Aku bisa merasakannya di setiap detik yang berlalu. Setiap kali aku melihatnya terbaring lemah di tempat tidur, rasanya seperti ada sesuatu yang semakin memudar. Pelan-pelan, ayah yang dulu penuh semangat itu, yang selalu menjadi pahlawan di mataku, kini hanya menjadi bayangan dari sosok yang pernah kukenal.

Aku masih ingat dengan jelas, beberapa minggu yang lalu, ayah masih bisa berbicara padaku dengan penuh canda. Sekarang, kata-katanya sudah semakin jarang. Tubuhnya semakin lemah, dan wajahnya semakin pucat. Setiap hari, aku merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang buruk terjadi, tapi aku tak tahu harus berharap apa lagi.

Di meja makan, ibu sedang menyiapkan sarapan, tangannya cekatan, seolah dia tidak merasakan beban apapun. Tetapi aku tahu, matanya yang tidak bisa menahan air mata adalah bukti bahwa hatinya sedang remuk. Dia terlihat kuat di luar, tetapi di dalam... dia pasti merasakan kepedihan yang lebih dalam dari apapun yang bisa aku pahami.

Aku memutuskan untuk mendekat, berharap bisa memberinya sedikit kenyamanan. Mungkin, jika aku bertindak normal, aku bisa membantu menenangkan suasana. Aku duduk di kursi, mencoba tersenyum, meskipun aku sendiri merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk.

“Ibu, butuh bantuan?” tanyaku dengan suara yang agak goyah. Ibu menoleh padaku dan memberikan senyum yang tak sepenuhnya meyakinkan.

“Tidak, sayang. Ibu masih bisa melakukannya.” Suaranya terdengar tegas, tetapi ada kesedihan yang tersembunyi di balik setiap kata.

Aku mengangguk, meskipun aku tahu dia sedang berusaha keras untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Kami berdua tahu, kenyataannya jauh dari itu.

Saat ibu menyajikan sarapan, aku melihat ayah di kamar. Aku melangkah mendekat dengan perlahan, takut mengganggu tidurnya, meskipun aku tahu dia lebih banyak terjaga daripada tidur. Seiring langkahku menuju kamar, aku bisa mendengar suara napasnya yang berat, seperti ada sesuatu yang membebani dadanya. Aku ingin sekali berlari ke pelukannya, memintanya untuk berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, kata-kata itu tidak akan datang.

Aku duduk di sebelah ranjangnya, memegang tangannya yang terasa dingin. "Ayah, kamu bisa mendengar Alika?" tanyaku pelan. Ayah tidak menjawab, tetapi matanya yang setengah terbuka menatapku dengan tatapan lemah. Aku tahu dia masih bisa mendengarku, meskipun tubuhnya semakin rapuh.

“Ayah, aku janji, aku akan kuat. Aku akan menjaga ibu. Kamu bisa tenang sekarang,” kataku, meskipun aku merasa hatiku pecah. Mengatakan kata-kata itu seolah merobek bagian dari diriku yang paling dalam. Tetapi aku tahu, jika aku tidak mengatakannya, aku akan kehilangan pegangan.

Ibu masuk ke kamar, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang menahan air mata. "Alika, sudah waktunya untuk makan." Suaranya tegas, meskipun aku bisa melihat bekas kelelahan di matanya.

Aku menoleh padanya dan mengangguk, perlahan melepaskan tangan ayah. Ketika aku berdiri, aku melihat ibu menyeka pelupuk matanya yang mulai basah. Dia berusaha keras untuk menahan diri, tetapi aku tahu dia sangat lelah. Aku bisa merasakan beban yang dia bawa, meskipun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan itu.

Di meja makan, suasana semakin tegang. Kami duduk bersama, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar, beradu dengan piring yang berisi sarapan yang tak tersentuh. Aku tidak tahu harus berbicara tentang apa. Apa yang bisa kami bicarakan ketika kenyataan begitu berat?

Akhirnya, ibu memecah keheningan. "Kita harus tetap kuat. Ayah butuh kita sekarang lebih dari sebelumnya." Suaranya terdengar begitu tegas, tetapi aku bisa melihat betapa sakitnya hatinya. Dia berbicara seolah dia meyakinkan dirinya sendiri.

"Apa kita masih punya waktu?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri. Aku bertanya-tanya, apakah kami bisa bertahan lebih lama. Ayah semakin lemah, dan aku tidak tahu bagaimana lagi kami bisa menghadapi kenyataan ini.

Ibu menatapku dengan tatapan penuh kasih, tetapi matanya tetap berbinar dengan air mata yang hampir jatuh. "Kita harus percaya bahwa setiap hari adalah anugerah. Jangan biarkan hari-hari ini penuh dengan penyesalan, Alika. Ingat, setiap detik yang kita habiskan bersama adalah berharga. Jangan sia-siakan itu."

Kata-kata ibu itu menghantamku dengan keras, tetapi entah kenapa, aku merasa sedikit lebih tenang. Sepertinya dia berbicara bukan hanya untukku, tapi juga untuk dirinya sendiri. Aku tahu dia sedang berjuang lebih keras dari siapapun untuk tetap tegar.

Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah semakin sunyi. Hanya ada suara pernapasan ayah yang berat, dan suara ibu yang berbicara dengan lembut untuk memberikan semangat, meskipun hatinya remuk. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana bisa aku menjadi penguat dalam keadaan seperti ini? Ibu terus bekerja tanpa henti, tapi aku bisa melihat betapa lelahnya dia. Raut wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak kusut dan pudar. Setiap kali dia menatap ayah, aku bisa melihat betapa dalamnya rasa sakit itu.

Suatu malam, setelah makan malam, aku duduk di ruang tamu, menatap kaca jendela yang memantulkan cahaya bulan yang redup. Ibu datang duduk di sebelahku, dan untuk pertama kalinya, dia tidak mencoba menutupi rasa lelahnya. Wajahnya terlihat letih, dan mata yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong.

"Alika," katanya pelan, "Ibu ingin kamu tahu, bahwa hidup itu tidak selalu adil. Kadang-kadang kita harus menerima kenyataan yang sangat menyakitkan. Tapi, yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya. Kita bisa saja menangis, kita bisa merasa lelah, tapi kita harus bangkit."

Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Kata-kata ibu terasa seperti pelajaran hidup yang sangat berat, tetapi aku tahu, itu adalah pelajaran yang harus aku pelajari.

"Apa yang akan kita lakukan tanpa ayah?" tanyaku, suara ku hampir pecah. "Ibu selalu kuat, tapi bagaimana kita bisa terus seperti ini?"

Ibu menatapku dengan mata yang penuh kasih sayang. "Kita akan terus berjalan, Alika. Mungkin tanpa ayah, tapi kita masih memiliki satu sama lain. Dan itu sudah cukup. Jangan pernah lupakan bahwa kita adalah keluarga, dan keluarga selalu menemukan jalan untuk tetap berdiri."

Aku menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Tapi ibu memelukku, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, aku merasa sedikit lebih tenang. Dalam pelukan ibu, aku menemukan kekuatan yang tidak pernah aku tahu ada. Meski dunia kami sedang runtuh, aku tahu bahwa selama kami bersama, kami akan bisa menghadapinya.

LANGIT YANG RETAK✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang