Aku duduk di ruang tamu, memandangi ibuku yang tengah sibuk di dapur. Tangannya yang cekatan menyiapkan makan malam, namun matanya tampak lelah, seperti sedang menanggung beban yang besar. Sudah beberapa hari ini, aku melihat ibuku bekerja lebih keras dari biasanya. Aku tahu alasan di baliknya—Ayah sedang sakit, dan ibuku rela mengorbankan segalanya untuk merawatnya. Tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang berubah.
"Alika, tolong ambilkan air hangat di kamar mandi," kata Ibu, tanpa menoleh ke arahku.
Aku segera berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Sebelum pintu tertutup, aku mendengar Ibu berbicara pada dirinya sendiri, lebih seperti bergumam. "Semoga Ayah bisa cepat sembuh. Aku masih harus kerja besok."
Aku terdiam di balik pintu, mendengar kata-katanya. Ibu selalu begitu. Tidak pernah mengeluh, bahkan saat tubuhnya lelah, bahkan ketika dia harus membagi waktu antara pekerjaan, rumah, dan merawat Ayah. Ibu memang selalu kuat, tapi aku tahu dia juga manusia biasa yang bisa merasa lelah.
Ketika aku kembali dengan air hangat, aku melihat Ibu sudah duduk di sebelah Ayah, menyuapinya dengan hati-hati. Ayah yang sedang terbaring lemah hanya bisa tersenyum kecil, meski wajahnya terlihat pucat dan lelah.
Ibu menyuapkan suapan terakhir, lalu meletakkan sendok dan piring kosong. "Ayah, kamu harus makan yang banyak, ya. Agar cepat sembuh," katanya lembut. Namun, matanya yang penuh perhatian tak bisa menutupi rasa cemas yang terpantul jelas di wajahnya.
"Aku nggak tahu berapa lama aku bisa bertahan begini," kata Ayah dengan suara lemah. "Ibu juga harus istirahat. Jangan terus-terusan begadang."
Ibu tersenyum kecil dan mengelus tangan Ayah. "Jangan khawatirkan aku, Ayah. Aku baik-baik saja. Yang penting, kamu cepat sembuh."
Aku berdiri di ambang pintu, merasakan kepedihan yang membuncah di dada. Ibu selalu menempatkan orang lain di atas dirinya sendiri. Dia tak pernah mengeluh, meski aku tahu, beban yang dia tanggung sangat besar. Mengurus Ayah yang sakit, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan masih saja memberi perhatian penuh pada aku dan adik-adikku. Kadang aku berpikir, apakah Ibu masih punya waktu untuk dirinya sendiri?
Ketika makan malam selesai, Ibu membersihkan meja dan menyapu dapur. Aku melihatnya dari pintu, merasa tak tahu harus bagaimana. Aku ingin membantu, tapi Ibu selalu menolak bantuanku dengan alasan "Nanti saja, kamu capek."
"Bu," panggilku pelan, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
Ibu menoleh, senyum lembut terlukis di wajahnya. "Ada apa, Alika?"
"Aku lihat Ibu capek banget belakangan ini. Apa Ibu nggak butuh istirahat?" tanyaku khawatir.
Ibu tertawa kecil, namun tawanya terdengar dipaksakan. "Kamu ini, Alika. Ibu nggak apa-apa. Nanti setelah Ayah sembuh, Ibu akan punya waktu untuk istirahat. Sementara ini, kita harus bersama-sama merawat Ayah."
Aku tahu Ibu berusaha menenangkan aku, tapi aku bisa melihat kelelahan di matanya. "Ibu nggak harus melakukannya sendiri, kok. Aku bisa bantu."
Ibu menggeleng pelan. "Kamu sudah banyak membantu, Nak. Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah tetap belajar dengan baik. Ibu ingin kamu sukses, dan itu adalah cara terbaik untuk membantu keluarga kita."
Aku mengangguk, meski rasa cemas masih menggelayuti hatiku. Aku tahu Ibu berusaha keras, tapi aku juga bisa melihat bagaimana pengorbanannya mulai mengambil korban pada dirinya sendiri. Keletihan yang semakin jelas, sikap yang semakin terburu-buru, dan pandangan mata yang sering tampak kosong, seperti memendam beban yang terlalu berat.
Malam itu, setelah Ayah tertidur, Ibu duduk di ruang tamu, memandang langit malam lewat jendela. Aku duduk di sampingnya, mencoba merasakan perasaan yang mungkin sedang ia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Historia Cortamemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...