Aku duduk di sebelah ranjang ayah, menatap wajahnya yang semakin kurus. Wajah itu, yang dulu penuh semangat dan tawa, kini tampak pucat dan lelah. Meskipun kondisinya semakin memburuk, ayah masih berusaha untuk tersenyum, berusaha menunjukkan sikap positif di tengah semua penderitaannya. Aku bisa merasakannya—senyum itu bukan hanya untukku, tapi juga untuk dirinya sendiri, agar bisa bertahan sedikit lebih lama.
“Alika,” suara ayah terdengar lemah, tapi aku bisa merasakan semangat yang tersembunyi di dalamnya. “Kamu sudah makan?”
Aku menatapnya dengan tatapan khawatir. "Ayah, kamu masih mau berbicara? Kamu kelihatan lelah," kataku, mencoba menunjukkan perhatian meskipun aku tahu kata-kataku tidak bisa mengubah apapun.
Ayah mengangguk perlahan, wajahnya tetap mencoba menunjukkan kedamaian meskipun tubuhnya sudah tidak kuat lagi. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, sayang. Aku masih bisa berbicara denganmu." Suaranya serak, dan aku bisa melihat betapa beratnya setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Aku menarik napas panjang, merasa bingung harus berkata apa. Ayah begitu kuat, bahkan di saat seperti ini, dia masih berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya. Aku tahu dia tidak ingin membuatku khawatir, tapi semakin lama aku semakin merasa seperti terperangkap dalam ketidakpastian ini.
“Kenapa sih Ayah selalu bilang tidak apa-apa? Kenapa Ayah tidak mau beristirahat?” tanyaku dengan suara yang agak tertahan. “Aku tahu kamu capek, Ayah. Kalau kamu butuh istirahat, kita bisa bantu.”
Ayah tersenyum tipis, namun senyum itu tidak bisa menutupi rasa lelah di matanya. “Kamu tahu, Alika, hidup ini memang penuh tantangan. Kadang, kita harus tetap berjalan meskipun tubuh kita tak sekuat dulu. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kita melihatnya. Kita bisa memilih untuk melihat segala sesuatu dari sisi positif. Itu yang akan membantu kita tetap tegar.”
Aku memandangnya, tak tahu harus berkata apa lagi. Ayah selalu mengajarkan tentang kekuatan dan optimisme, tetapi seiring berjalannya waktu, aku mulai meragukan kekuatan itu. Apakah sikap positif benar-benar bisa mengubah segalanya? Atau akankah kita hanya mengelabui diri sendiri dengan harapan yang semakin pudar?
“Alika, kamu harus ingat,” lanjut ayah, seolah bisa membaca keraguanku. “Ketika kita dihadapkan dengan hal-hal sulit, kita harus percaya bahwa masih ada jalan keluar. Tidak peduli betapa beratnya keadaan, selalu ada cara untuk bertahan.”
Aku mencoba tersenyum, tetapi rasanya semakin sulit untuk berpura-pura tidak merasa takut. “Aku akan berusaha, Ayah,” kataku pelan, meskipun kata-kata itu terasa kosong di bibirku. Ayah menarik tanganku, seolah memberiku semangat untuk terus berjalan meskipun dunia terasa semakin gelap.
"Jangan pernah merasa sendiri, Alika. Kamu punya ibu yang selalu di sampingmu. Kalian berdua adalah kekuatanku," katanya dengan penuh keyakinan.
Aku merasa air mata mulai menggenang di pelupuk mataku, tetapi aku berusaha menahannya. Ayah selalu begitu—selalu berusaha menjaga semangat orang lain meskipun dia sendiri sedang berjuang. Dia lebih memikirkan kami daripada dirinya sendiri.
"Terima kasih, Ayah," kataku sambil menggenggam tangan ayah dengan lembut. "Aku janji akan tetap kuat. Aku akan bantu ibu jaga rumah."
Ayah mengangguk, senyum kecil kembali menghiasi wajahnya. Namun, senyum itu tidak bisa menutupi kenyataan yang ada. Aku tahu bahwa setiap kali senyum itu muncul, itu adalah usaha terakhir untuk mengatasi rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Dan aku tidak tahu berapa lama lagi senyum itu bisa bertahan.
Waktu berlalu, dan ayah mulai semakin lemah. Aku melihatnya terbaring lebih lama di tempat tidur, tubuhnya semakin kurus dan napasnya semakin terengah. Meskipun begitu, setiap kali aku mendekat, dia selalu berusaha tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...