Malam itu, aku terjaga dengan napas terengah-engah. Jantungku berdetak begitu kencang, seolah ingin keluar dari dadaku. Dalam sekejap, aku merasa tubuhku lemas dan gemetar. Mimpi buruk yang baru saja kualami masih terasa begitu nyata, meninggalkan bekas yang menggetarkan di hatiku.
Dalam mimpi itu, aku berada di ruang rumah sakit yang sunyi dan gelap. Semua orang tampak berjalan menjauh, meninggalkan aku dan Ayah di sana. Aku melihat Ayah, yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, mencoba tersenyum padaku, tetapi matanya redup, seperti kehilangan cahaya. Tangan kami hampir bersentuhan, tetapi tiba-tiba saja Ayah menghilang—hilang begitu saja, tanpa peringatan. Aku berteriak, berlari ke segala arah untuk mencarinya, tetapi yang kudapati hanyalah kehampaan.
Aku memeluk lutut, berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan mimpi itu masih terasa sangat kuat. Rasa takut mulai merayap, memenuhi pikiranku dengan kecemasan yang tak terkendali. Apa arti dari mimpi ini? Apakah ini adalah firasat buruk? Aku tak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan itu membuatku semakin takut.
Dalam kegelapan kamarku, pintu perlahan terbuka, dan Ibu masuk. Dia melihatku dengan wajah khawatir, lalu duduk di sampingku, menepuk pundakku dengan lembut.
“Alika, kamu nggak apa-apa?” bisiknya lembut.
Aku mengangguk pelan, mencoba terlihat tenang meskipun dadaku masih berdegup kencang. “Aku cuma… mimpi buruk, Bu.”
Ibu menarik napas panjang dan memelukku erat. “Tenang, Nak. Itu hanya mimpi. Semua akan baik-baik saja.”
Aku ingin percaya pada kata-kata Ibu, tetapi ketakutan dalam diriku terasa begitu besar, menekan semua harapan yang ingin aku bangun. “Tapi, Bu… Aku takut. Takut kehilangan Ayah.”
Ibu melepaskan pelukannya dan menatapku dengan tatapan yang begitu hangat dan penuh kasih. “Ayahmu adalah orang yang kuat, Alika. Dia sedang berjuang dengan seluruh kekuatannya. Dan kita semua ada di sini untuk mendukungnya.”
Air mataku mulai mengalir, tetapi aku tidak mencoba menahannya. “Bu, aku nggak tahu apa yang harus kulakukan kalau Ayah… kalau Ayah pergi.”
Ibu mengusap rambutku dengan lembut, seolah mencoba menghapus ketakutanku dengan sentuhannya. “Alika, kita nggak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, yang bisa kita lakukan sekarang adalah memberikan yang terbaik dan berdoa agar Ayah diberi kekuatan.”
Aku mengangguk pelan, berusaha menyerap setiap kata Ibu. Meskipun hatiku masih dipenuhi kecemasan, kata-kata Ibu memberiku sedikit ketenangan, seakan ada harapan kecil yang tersisa di tengah semua ketakutan ini.
“Bu… boleh nggak aku tidur di sini?” tanyaku, berharap bahwa berada di dekat Ibu akan membuatku merasa lebih tenang.
Ibu tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja, Alika.”
Aku merebahkan kepalaku di pangkuan Ibu, merasakan hangatnya kehadirannya yang memberiku rasa aman. Dalam keheningan malam, aku mencoba untuk menenangkan diriku, berharap bahwa mimpi buruk itu hanyalah bayangan yang akan segera berlalu.
Ibu membelai rambutku pelan, dan dengan sentuhan lembutnya, perasaan cemas dalam hatiku mulai mereda sedikit demi sedikit. Di tengah heningnya malam, hanya terdengar suara napas kami yang beriringan, menciptakan ketenangan yang sangat kubutuhkan.
“Kamu tahu, Nak,” Ibu berbisik pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan, “ketika Ayah pertama kali mendengar tentang kondisinya, dia juga merasa takut. Dia khawatir akan kita—khawatir tentang siapa yang akan melindungi kalian, membimbing kalian, dan mencintai kalian kalau dia nggak ada. Tapi setiap kali Ayah melihat kalian, dia selalu menemukan alasan untuk bertahan, untuk terus berjuang.”
Aku menatap wajah Ibu yang terlihat tegar, meskipun ada bayangan lelah di matanya. Ketegarannya membuatku merasa sedikit malu akan ketakutan yang barusan kurasakan, tetapi sekaligus memberiku kekuatan.
“Jadi, Ayah berjuang untuk kami?” tanyaku, meski dalam hati aku sudah tahu jawabannya.
Ibu mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ayah ingin melihat kalian tumbuh besar, mengejar mimpi kalian. Dan selama dia masih bisa, dia akan terus berjuang. Itu sebabnya, kita juga harus kuat, Alika. Kita harus tetap tegar, untuk Ayah.”
Kata-kata Ibu menggema dalam hatiku, memberi kekuatan yang sulit untuk dijelaskan. Perlahan, aku mulai merasa ada ketenangan yang tumbuh, menggantikan kecemasan yang tadi memenuhi hatiku. Aku mulai menyadari bahwa aku bukan satu-satunya yang merasa takut dan sedih; Ibu dan Ayah juga merasakan hal yang sama, mungkin bahkan lebih dari yang kubayangkan.
Aku mengusap air mataku dan berusaha tersenyum, meskipun rasa takut itu belum sepenuhnya hilang. “Aku akan coba lebih kuat, Bu. Mungkin aku belum bisa sekuat Ayah atau Ibu… tapi aku janji akan mencoba.”
Ibu tersenyum, tampak lega mendengar janjiku. Dia membelai kepalaku sekali lagi, lalu berkata, “Itu sudah lebih dari cukup, Alika. Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah mencoba, meskipun jalannya terasa sulit.”
Kami berdua terdiam sejenak, membiarkan malam melingkupi kami dalam keheningan yang menenangkan. Tapi kemudian, aku memutuskan untuk bertanya sesuatu yang selama ini tersimpan di dalam hatiku.
“Bu… kalau suatu hari… kalau suatu hari Ayah benar-benar nggak ada, bagaimana kita melanjutkan hidup?”
Wajah Ibu terlihat sedikit kaget mendengar pertanyaanku, tapi dia tidak menegurku. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, seolah mencari kata-kata yang tepat.
“Alika, kehilangan adalah bagian dari hidup. Tidak ada yang bisa benar-benar mempersiapkan kita untuk itu, dan kita nggak tahu kapan atau bagaimana kita akan menghadapinya. Tapi kita punya kenangan, cinta, dan semua pelajaran yang sudah Ayah ajarkan pada kita. Semua itu akan terus bersama kita, selamanya.”
Aku terdiam, mencerna kata-kata Ibu yang terasa begitu dalam. Rasanya sulit membayangkan hidup tanpa Ayah, tetapi di saat yang sama, aku tahu bahwa cinta dan kenangan yang dia tinggalkan tidak akan pernah hilang.
“Jadi, kita akan selalu punya Ayah dalam hati kita?” tanyaku, suaraku bergetar pelan.
Ibu mengangguk, senyumnya penuh kelembutan. “Iya, Nak. Ayah akan selalu ada di dalam hati kita, di setiap langkah yang kita ambil. Dan itu sebabnya kita harus melanjutkan hidup dengan baik, agar Ayah bangga pada kita.”
Aku mengangguk, merasa lebih tenang. Meskipun ketakutan itu masih ada, aku mulai memahami bahwa aku tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. Ada Ibu, ada Adik, dan yang terpenting, ada kenangan Ayah yang akan terus menyertai kami.
Setelah beberapa saat, Ibu menyuruhku kembali ke kamar untuk tidur. Aku memeluknya erat sebelum pergi, merasakan ketenangan dan kekuatan dari pelukannya. “Terima kasih, Bu, untuk semuanya.”
“Tidur yang nyenyak, Alika. Besok pagi kita mulai hari baru, dan kita hadapi bersama-sama, ya?” ucap Ibu sambil tersenyum hangat.
Aku kembali ke kamarku dengan hati yang lebih tenang. Saat berbaring di tempat tidur, aku memejamkan mata dan membiarkan bayangan Ayah yang tersenyum hadir dalam pikiranku. Aku tahu, apapun yang terjadi, aku akan mencoba bertahan dan terus berjalan. Aku akan belajar menerima kenyataan, meskipun itu berarti menghadapi rasa sakit yang tak terelakkan.
Dengan pikiran yang lebih damai, aku akhirnya terlelap, berharap bahwa esok akan membawa kekuatan baru bagi kami semua, terutama Ayah. Kami mungkin tidak tahu bagaimana masa depan, tapi aku yakin bahwa dengan cinta dan doa, kami akan menemukan cara untuk melaluinya bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Storie brevimemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...