Aku duduk di taman sekolah, mataku terfokus pada tanah, berusaha menghindari tatapan teman-teman yang terus menanyakan kenapa aku terlihat murung. Tiba-tiba, Rima duduk di sampingku. "Alika, ada apa? Kamu kelihatan nggak biasa," katanya, suaranya lembut.
Aku terdiam, ragu untuk bercerita. Tapi, rasa berat di dada ini mulai terasa semakin sulit untuk ditahan. "Aku cuma merasa kayak nggak bisa ngelakuin apa-apa yang bener," jawabku, mataku menunduk. "Kayaknya semua yang aku coba, selalu gagal."
Rima menggenggam tanganku, seolah memberiku kekuatan yang tak terucapkan. "Kamu nggak sendiri, Alika. Kami semua di sini untuk kamu," katanya dengan yakin. "Kadang-kadang kita nggak langsung berhasil, tapi itu nggak berarti kamu nggak bisa. Ingat, kamu punya kekuatan luar biasa."
Tak lama, Ilham muncul. Dia duduk di sebelah Rima, melirikku dengan serius. "Rima bener, Alika," katanya. "Kami tahu kamu bisa lebih dari yang kamu kira. Kamu punya sesuatu yang orang lain nggak punya, dan itu membuatmu spesial."
Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, kalian." Aku merasa sedikit lebih tenang, merasa bahwa ada harapan meskipun aku masih merasa ragu. Sahabat-sahabatku selalu tahu bagaimana membuat hatiku terasa lebih ringan, bahkan di tengah kegelisahan yang besar.
Rima menepuk bahuku. "Kamu nggak perlu sempurna, Alika. Kamu cuma perlu terus berusaha dan percaya pada dirimu sendiri. Kita akan selalu ada buat kamu."
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lebih kuat.
*****
Aku memandang langit yang mulai gelap, seolah menggambarkan perasaan dalam hatiku. Sejak pagi tadi, semua terasa salah. Tidak ada satu pun hal yang berjalan dengan baik. Tugas sekolah yang menumpuk, masalah dengan teman-teman, dan perasaan tidak berharga yang semakin menghimpit. Aku merasa seperti berjalan dalam kegelapan, tak tahu kemana harus melangkah.
"Alika, kamu masih di sini?" Ilham mendekat, suaranya lembut namun penuh perhatian. Matanya yang tajam memandangku dengan penuh pengertian, meski aku tahu dia tidak tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam diriku.
Aku mengangguk pelan. "Iya, Ilham. Aku cuma… bingung. Semua kayak nggak berjalan sesuai rencana. Sepertinya aku nggak bisa apa-apa."
Ilham duduk di sampingku, menyandarkan punggungnya ke pohon yang besar. Dia menatap ke depan, lalu mengalihkan pandangannya padaku. "Kamu nggak sendirian, Alika. Kita semua punya momen-momen kayak gitu, ketika kita merasa dunia seakan melawan kita."
Aku tertunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Aku merasa bodoh. Seharusnya aku bisa lebih kuat, lebih tegar, tapi kenyataannya, aku justru merasa semakin rapuh. "Tapi aku takut, Ilham. Aku takut nggak bisa keluar dari perasaan ini. Aku takut kalau aku nggak cukup baik."
Rima yang sebelumnya hanya duduk diam di samping kami, kini menatapku dengan penuh perhatian. "Alika, dengar ya," katanya pelan, hampir seperti sebuah bisikan. "Kamu itu luar biasa. Setiap kali aku melihat kamu menggambar, aku melihat semangat dan kekuatan dalam dirimu. Gak ada yang bisa merusak itu."
Aku menoleh padanya, masih bingung dan cemas. "Tapi apa yang aku lakukan nggak pernah cukup, Rima. Aku merasa kayak semua usaha aku sia-sia."
Rima menggenggam tanganku erat, memberikan rasa hangat yang menyentuh relung hatiku. "Kamu nggak harus jadi sempurna, Alika. Kamu cuma harus menjadi diri kamu sendiri, dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada. Itu yang membuat kamu unik. Gak ada orang lain yang bisa jadi Alika seutuhnya. Hanya kamu."
Aku menarik napas panjang, mencoba mencerna kata-kata Rima. Entah kenapa, mendengarnya membuat hatiku terasa lebih ringan. Mungkin selama ini aku terlalu keras pada diriku sendiri, berharap bisa menjadi seperti yang aku bayangkan, atau seperti yang orang lain inginkan. Tapi, mungkin aku lupa bahwa menjadi diri sendiri itu cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Contomemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...