Aku duduk di ruang tunggu rumah sakit, meremas kedua tanganku dengan gugup. Udara di sini terasa dingin dan sunyi, menambah berat di dadaku yang sejak tadi tidak berhenti bergemuruh. Ibu duduk di sebelahku, mencoba tersenyum untuk memberiku kekuatan, meskipun aku tahu matanya juga penuh kekhawatiran.
Pintu ruang dokter terbuka, dan perawat memanggil nama Ayah. Aku berdiri dengan jantung berdebar, mengikutinya masuk bersama Ibu. Di dalam, seorang dokter paruh baya dengan wajah ramah duduk di belakang meja, mempersilakan kami duduk di hadapannya.
“Selamat siang, Pak Arya, Bu Mira, dan... Alika, ya?” Dokter itu menatapku sejenak dan tersenyum hangat. Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum kembali.
Setelah basa-basi singkat, dokter mulai menjelaskan hasil pemeriksaan terakhir Ayah. Suaranya tenang, jelas, tapi kata-kata yang keluar terasa seperti beban berat yang jatuh satu per satu di pundakku.
“Pak Arya, dari hasil MRI yang terakhir kita lakukan, kondisi kanker ini sudah masuk stadium lanjut, dan… sudah menyebar ke beberapa area,” jelas dokter itu, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata itu. "Stadium lanjut?" Aku menatap Ibu, yang menggenggam tanganku erat.
Ibu berusaha terlihat tegar, meskipun aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. “Apa… apa ada yang bisa kita lakukan lagi, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter menghela napas panjang, menunduk sejenak sebelum melanjutkan, “Kami akan melakukan yang terbaik untuk mengurangi rasa sakit Pak Arya. Tentu saja, terapi medis dan perawatan paliatif akan kita jalankan. Namun, saya ingin Ibu dan Alika tahu bahwa fokus kita saat ini adalah menjaga kualitas hidup Pak Arya sebaik mungkin.”
Ayah hanya tersenyum tipis, menatap Ibu dan aku dengan tatapan yang penuh ketenangan. "Aku sudah siap," katanya pelan, dan tiba-tiba rasa sesak itu kembali datang di dadaku. Melihat wajahnya yang begitu tenang saat dokter mengatakan semua ini, aku tidak bisa menahan air mata lagi.
“Ayah...” Suaraku serak saat memanggilnya. Aku menatap wajahnya, mencari sesuatu, mungkin jawaban atau kekuatan.
Ayah menepuk tanganku pelan. “Kamu harus kuat, Alika. Ayah akan terus berjuang, tapi Ayah juga ingin kamu tetap semangat di sekolah dan fokus pada dirimu sendiri.”
“Pak Arya benar,” dokter menambahkan, tersenyum lembut kepadaku. “Alika, kami tahu ini tidak mudah, tapi kehadiran dan dukunganmu adalah hal yang sangat berharga untuk Ayah dan Ibu.”
Ibu mengangguk, masih menggenggam tanganku erat-erat. “Kita hadapi ini bersama-sama, Nak.”
Aku menunduk, mencoba menenangkan diri. Di balik ketakutanku, ada secuil kekuatan yang muncul dari tangan Ayah yang menggenggam tanganku dengan lembut.
“Terima kasih, Dokter, atas kejujurannya. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menghadapi ini,” kata Ibu dengan nada penuh keyakinan meski ada getaran dalam suaranya.
Setelah pertemuan selesai, kami meninggalkan ruangan dokter dalam diam. Aku merasa kosong, seolah kata-kata dokter tadi masih berputar di kepalaku. Stadium lanjut. Fokusnya sekarang kualitas hidup. Aku tidak tahu apakah aku siap menghadapi kenyataan ini.
Di perjalanan pulang, aku hanya bisa memandangi Ayah dan Ibu. Mereka tidak banyak bicara, dan suasana mobil begitu hening. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi aku tahu di balik ketenangan mereka, ada rasa sakit dan kekhawatiran yang sama besarnya dengan yang aku rasakan.
Sesampainya di rumah, Ayah memintaku untuk duduk bersamanya di ruang tamu. Dia menatapku dengan senyum yang menenangkan, meskipun aku tahu senyum itu menyembunyikan begitu banyak rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...