Pagi itu, suasana rumah terasa sunyi. Sejak Ayah kembali dari rumah sakit, hari-hari kami diwarnai kecemasan, harapan, dan doa yang tak putus. Setiap detik menjadi lebih berharga, seolah kami menyadari bahwa waktu bersama Ayah mungkin tak lagi panjang.
Ketika aku memasuki kamar Ayah, dia sedang duduk di ranjang, bersandar pada bantal. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya tetap memancarkan kehangatan yang selalu kurindukan. Dia tersenyum saat melihatku, seolah ingin memastikan aku baik-baik saja.
“Alika, mendekatlah,” panggilnya dengan suara lembut. Aku pun duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang terasa dingin namun penuh dengan kekuatan yang pernah kurasakan saat kecil.
“Ayah ingin bicara sesuatu?” tanyaku pelan, menatap wajahnya dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.
Ayah mengangguk pelan, menghela napas panjang. “Ada beberapa hal yang ingin Ayah sampaikan padamu, Nak. Mungkin ini terdengar berat, tapi Ayah ingin kamu tahu betapa bangganya Ayah padamu.”
Aku menunduk, air mata mulai menggenang di sudut mataku. “Ayah, jangan bicara seperti itu...”
Dia mengusap kepalaku, seolah mencoba menguatkan diriku. “Alika, hidup adalah perjalanan, dan kamu adalah bagian paling berharga dalam hidup Ayah. Ayah ingin kamu selalu kuat, meskipun mungkin suatu saat Ayah nggak bisa ada di sampingmu lagi.”
Aku mengangguk, berusaha menahan tangis. “Ayah, aku nggak tahu bagaimana hidup tanpa Ayah. Aku nggak tahu bagaimana harus kuat…”
Ayah tersenyum, mengusap tanganku dengan lembut. “Kekuatan itu, Nak, sudah ada dalam dirimu. Kamu hanya perlu mempercayainya, seperti Ayah mempercayaimu. Setiap kali kamu merasa takut atau ragu, ingatlah bahwa Ayah selalu ada di hatimu.”
Aku menatapnya, melihat kesungguhan di matanya yang tenang. “Ayah, aku berjanji akan menjaga Ibu dan akan berusaha jadi kuat… untuk Ayah.”
Dia mengangguk, tampak terharu. “Itu janji yang sangat berarti buat Ayah, Alika. Dan satu hal lagi... jangan pernah berhenti mengejar apa yang kamu cintai. Ayah selalu melihat bagaimana matamu bersinar setiap kali kamu menggambar. Jangan pernah menyerah pada impianmu, ya.”
Air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku menunduk, menggenggam tangan Ayah semakin erat. “Ayah... aku akan berusaha menjadi apa yang Ayah harapkan. Aku akan menjaga mimpi-mimpi itu, demi Ayah.”
Ayah memelukku erat, membisikkan kata-kata terakhir yang akan terus terngiang dalam hidupku. “Selalu ingat, Nak, Ayah selalu bangga padamu. Kamu adalah sinar dalam hidup Ayah, dan sekarang waktunya kamu menyinari duniamu sendiri.”
Aku hanya bisa memeluknya, membiarkan setiap kata dan kehangatan itu meresap dalam hatiku. Waktu seolah berhenti di saat itu, membiarkan kami berdua tenggelam dalam keheningan penuh kasih yang tak terucapkan. Dalam pelukan itu, aku tahu, meski Ayah mungkin akan pergi, cintanya akan selalu ada di sisiku, membimbingku dalam setiap langkah.
Hari itu terasa begitu panjang, namun penuh arti. Saat aku keluar dari kamar Ayah, aku merasa ada beban berat di dalam dadaku, tetapi juga ada kehangatan yang sulit kujelaskan. Kata-kata terakhir Ayah seolah tertanam di hatiku, mengakar kuat seperti pohon yang telah lama tumbuh.
Beberapa hari berikutnya, Ayah semakin lemah. Ibu dan aku selalu berada di sisinya, memastikan ia tidak pernah merasa sendirian. Setiap kali Ayah tertidur, aku menatap wajahnya yang tenang dan penuh kedamaian. Di saat-saat seperti itu, aku mencoba menyerap setiap detil tentang dirinya—garis-garis wajahnya yang mulai menua, senyum lembut yang selalu menyemangati, dan sorot mata yang penuh kasih.
Suatu malam, aku terjaga dan mendapati Ayah tengah terjaga pula. Matanya menatap langit-langit, namun aku tahu pikirannya mungkin sedang berada di tempat lain. Aku duduk di tepi tempat tidurnya, dan dia melirikku sambil tersenyum lemah.
“Alika… kamu nggak tidur?” tanyanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.
Aku menggeleng. “Aku ingin menemani Ayah.”
Dia mengangguk pelan, lalu menatap keluar jendela, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit malam. “Kamu tahu, Nak, hidup ini seperti bintang-bintang di langit. Kita hanya berkilau sebentar, tapi cahaya itu akan tetap terlihat dari jauh, bahkan setelah kita pergi.”
Aku terdiam, mencoba memahami maksud dari kata-katanya. “Ayah... apakah Ayah merasa takut?”
Ayah terdiam sesaat, lalu menarik napas pelan. “Sedikit. Tapi lebih dari itu, Ayah merasa tenang. Ayah tahu kalian berdua akan baik-baik saja. Dan Ayah juga tahu kamu adalah anak yang kuat, Alika.”
Kata-kata Ayah malam itu terasa seperti angin lembut yang menenangkan hatiku. Meski aku masih merasa takut, ada perasaan damai yang mengalir di antara kami. Kami berbicara tentang banyak hal, tentang kenangan-kenangan sederhana yang pernah kami lewati bersama. Dari waktu kecilku hingga masa-masa saat aku mulai beranjak dewasa. Setiap cerita terasa begitu berarti, seperti lembaran-lembaran hidup yang aku simpan dalam hati.
Keesokan paginya, Ayah tampak semakin lemah. Saat kami duduk di sekelilingnya, Ayah menggenggam tangan kami erat-erat, seolah ingin menyampaikan pesan terakhir tanpa kata-kata. Dalam keheningan itu, aku melihat senyum tipis di wajahnya, sebuah senyum penuh kedamaian yang akan selalu aku ingat.
Tak lama kemudian, Ayah pergi dengan tenang, seperti angin yang berlalu di pagi hari. Di detik-detik itu, dunia terasa seakan berhenti. Aku merasakan kekosongan yang begitu besar, seperti ada bagian diriku yang ikut pergi bersamanya. Ibu dan aku hanya bisa berpelukan, berbagi duka yang tak terucapkan.
Di hari-hari setelahnya, rumah kami dipenuhi dengan kunjungan orang-orang yang datang melayat. Banyak yang mengucapkan belasungkawa, berbagi cerita dan kenangan tentang Ayah. Dari setiap cerita yang mereka sampaikan, aku semakin menyadari betapa berartinya Ayah bagi banyak orang, bukan hanya untuk kami.
Saat malam tiba, aku duduk di kamarku, memandang langit malam yang bertabur bintang. Dalam hati, aku berbicara kepada Ayah, mengingatkan diriku pada janji-janji yang telah kuucapkan. Aku tahu hidupku tak akan pernah sama lagi, namun aku juga tahu bahwa Ayah selalu ada di sisiku, dalam setiap langkah yang kuambil.
Di tengah kesunyian itu, aku berjanji kepada diri sendiri untuk menjadi kuat, untuk menjaga harapan yang telah Ayah tanamkan dalam diriku. Meskipun perih ini masih ada, aku tahu perlahan aku akan belajar untuk melangkah. Ayah telah memberiku kekuatan, dan aku akan berusaha menjadikannya bekal untuk menerangi perjalanan hidupku.
Malam itu, aku akhirnya tersenyum kecil, mengirimkan doa terakhir untuk Ayah, berharap dia bahagia di sana, di tempat di mana cahaya tak pernah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Historia Cortamemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...