episode 27

0 0 0
                                    

Malam itu, aku duduk di kamarku, memandangi langit malam dari jendela. Bintang-bintang berkelip lembut, seperti memanggil kenangan-kenangan tentang Ayah. Rasanya baru kemarin Ayah berbicara padaku tentang mimpinya untukku, tentang harapan-harapannya yang begitu hangat dan penuh kasih.

Aku menutup mata, membiarkan ingatanku melayang ke masa-masa itu.

"Alika," kata Ayah suatu hari sambil memegang bahuku dengan lembut. "Ayah ingin kamu jadi orang yang kuat, yang bisa menghadapi dunia dengan kepala tegak dan hati yang tegar. Janji ya, kalau suatu hari Ayah nggak ada lagi, kamu tetap bisa berdiri sendiri."

Aku ingat betul bagaimana aku tertawa saat itu. "Ayah ngomong apa sih, aneh. Ayah kan akan selalu ada."

Ayah tersenyum, tetapi ada ketenangan dalam tatapannya yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Kamu tahu kan, hidup ini penuh dengan tantangan. Ayah ingin kamu siap menghadapi apa pun yang terjadi, Nak. Dan ingat, ketegaran bukan berarti harus menahan semuanya sendiri. Kamu boleh sedih, boleh merasa lemah. Tapi jangan pernah menyerah."

Kata-kata itu sekarang terasa seperti pesan yang dalam, seolah Ayah tahu bahwa aku akan membutuhkannya. Aku merasa rindu mendalam untuk mendengar suara Ayah lagi, untuk merasakan pelukannya yang menenangkan.

Saat memikirkan mimpi Ayah itu, aku menyadari satu hal: meskipun rasanya sulit, aku ingin memenuhi harapannya. Aku ingin menjadi orang yang kuat seperti yang ia impikan. Mungkin aku masih belum tahu bagaimana caranya, tapi setidaknya aku bisa mencoba. Setiap kali aku merasa jatuh, aku akan ingat bahwa Ayah ingin aku berdiri lagi.

Dengan hati yang berdebar, aku menatap langit malam yang penuh bintang dan berbisik pelan, “Ayah, aku janji, aku akan mencoba menjadi orang yang tegar. Seperti yang Ayah harapkan.”

setelah mengingat kata-kata Ayah, aku duduk di ranjang dengan selimut melilit tubuh. Suara ketukan pelan di pintu menyadarkanku.

"Alika, boleh Ibu masuk?" Suara Ibu terdengar lembut.

"Iya, Bu, masuk aja," jawabku sambil berusaha menyeka sisa-sisa air mata di pipiku. Aku tidak ingin Ibu khawatir.

Ibu masuk, membawa secangkir teh hangat dan duduk di sampingku. "Lagi mikirin Ayah, ya?" tanyanya dengan senyum simpul.

Aku mengangguk pelan, menatap secangkir teh di tangannya. "Iya, Bu. Tadi aku ingat kata-kata Ayah tentang... tentang harapannya biar aku jadi orang yang kuat."

Ibu menatapku penuh kelembutan. "Ayahmu memang selalu bilang itu. Dia selalu ingin kamu siap menghadapi apa pun."

Aku menunduk, mengingat lagi momen-momen ketika Ayah berbicara padaku dengan nasihatnya yang bijak. "Bu, kadang aku merasa berat banget. Dulu kayaknya gampang aja kalau Ayah bilang aku harus tegar, tapi sekarang, setelah dia nggak ada..."

Ibu meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Ibu paham, Nak. Kehilangan Ayah adalah hal yang sangat sulit. Bahkan Ibu pun merasakan kekosongan itu setiap hari."

Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak emosi yang muncul. "Tapi... Ayah berharap aku bisa kuat, Bu. Aku ingin mewujudkan harapannya, tapi rasanya masih susah."

Ibu tersenyum lembut, matanya sedikit berkaca-kaca. "Menjadi kuat bukan berarti kamu harus selalu tegar setiap waktu, Alika. Kekuatan itu juga berarti kamu tahu kapan harus minta bantuan dan kapan harus beristirahat."

Aku mengangguk, mulai merasa sedikit lega dengan kata-kata Ibu. "Ayah pernah bilang juga, kalau aku nggak harus merasa kuat sendirian. Tapi... kenapa rasanya malah semakin berat, Bu?"

Ibu merangkulku erat, memberikan pelukan yang selama ini kubutuhkan. "Itu karena kamu berusaha terlalu keras sendirian, Nak. Kamu boleh cerita sama Ibu kapan saja, nggak perlu merasa semua ini tanggung jawab kamu."

LANGIT YANG RETAK✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang