Aku duduk di meja belajarku, menatap kosong ke arah kertas gambar yang sudah lama tak kusentuh. Pensil dan cat air tergeletak di atas meja, seolah menunggu sentuhanku kembali. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba memusatkan pikiranku yang berantakan.
Dulu, menggambar adalah pelarianku dari segala macam masalah. Ketika Ayah dan Ibu sibuk, atau saat ada masalah di sekolah, aku selalu menemukan kedamaian di dalam goresan pensil. Tapi sekarang, rasanya berbeda. Beban yang kurasakan jauh lebih berat, dan entah kenapa, menggambar seolah tak lagi semudah dulu.
Kupaksakan tanganku bergerak, menggambar garis-garis yang tak pasti. Aku mulai menggambar siluet wajah Ayah, mengingat senyumnya, matanya yang teduh. Aku ingin melukisnya seperti yang terakhir kali kulihat—saat ia masih penuh energi dan semangat, sebelum semua ini terjadi. Tanganku sedikit gemetar, tapi aku terus melanjutkan, berharap setiap goresan bisa mengurangi perasaan sedih yang menumpuk di dadaku.
Namun, semakin aku mencoba, semakin gambar itu terlihat kabur. Wajah Ayah yang kucoba ciptakan malah membuat perasaanku semakin berkecamuk. Aku berhenti sejenak, menatap hasil gambarku yang terasa jauh dari sempurna. Air mataku mulai mengalir, tak tertahan lagi.
"Kenapa rasanya susah sekali, Ayah?" bisikku lirih, berharap entah bagaimana Ayah bisa mendengar.
Aku menyandarkan kepala ke meja, membiarkan air mata jatuh. Tapi saat itulah, kenangan kecil muncul dalam pikiranku. Kenangan saat Ayah pernah duduk di sampingku, mengamatiku menggambar dengan penuh kagum.
"Wah, Alika, Ayah bangga banget sama kamu," ucap Ayah waktu itu sambil tersenyum lebar. "Kamu punya bakat yang luar biasa. Suatu hari nanti, karya kamu pasti bakal bikin banyak orang kagum."
Suara Ayah terngiang-ngiang di benakku, seakan dia ada di sini, menyemangatiku untuk tidak menyerah. Dengan perlahan, aku mengangkat kepala dan menatap kertas di depanku. Mungkin gambar ini belum sempurna, tapi aku tahu bahwa setiap goresannya adalah cerminan dari rasa sayang dan rinduku pada Ayah.
Kupungut pensil lagi dan mulai menggambar ulang, pelan-pelan. Aku mulai mengingat momen-momen kecil bersama Ayah, saat dia memberiku semangat untuk terus melukis. Meskipun aku tahu bahwa Ayah sedang berjuang melawan penyakitnya, aku ingin dia tahu bahwa aku juga berjuang untuknya—berjuang untuk tetap kuat, seperti yang selalu dia inginkan.
Setiap goresan membawa perasaan yang baru, bukan sekadar rasa sedih, tapi juga semangat. Aku menggambar dengan lebih tenang, lebih fokus, seakan menyampaikan pada Ayah melalui gambar ini bahwa aku akan baik-baik saja, dan aku akan terus melanjutkan mimpi yang pernah dia dukung.
Waktu berlalu tanpa kusadari, hingga aku selesai menggambar. Di depanku, terpampang gambar Ayah dengan senyum yang hangat, persis seperti yang kuingat. Senyum yang selalu memberikan kekuatan dan ketenangan.
Aku tersenyum kecil, menatap hasil karyaku. Rasanya seolah Ayah ada di sana, tersenyum, memberi dukungan tanpa suara. Ini bukan sekadar gambar, melainkan pengingat bahwa aku masih memiliki sesuatu yang bisa kupegang, sesuatu yang bisa kubuat untuk mengenang dan menghargai Ayah.
****
Keesokan harinya, ketika aku sedang melanjutkan gambarku, terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarku. Aku menoleh dan melihat Ibu berdiri di sana, tersenyum kecil."Sedang apa, Alika?" tanyanya lembut.
Aku menunjukkan gambar Ayah yang baru saja kuselesaikan, memperlihatkan detail wajahnya yang penuh senyum. "Aku lagi coba menggambar Ayah, Bu. Rasanya… aneh. Biasanya aku bisa dengan mudah, tapi kali ini aku harus berusaha keras."
Ibu duduk di sebelahku, mengamati gambar itu dalam-dalam. "Itu gambar yang indah, Nak. Kamu benar-benar menggambarkan Ayah seperti dirinya dulu, penuh semangat dan ceria."
Aku mengangguk pelan. "Aku cuma… rindu, Bu. Rasanya sulit menerima kalau Ayah sekarang berbeda. Gambar ini, mungkin satu-satunya cara aku bisa kembali ke kenangan itu."
Ibu menatapku lama, lalu menggenggam tanganku. "Alika, Ibu paham kok. Ibu juga rindu. Tapi ingat, Ayah masih ada di sini. Meskipun dia sakit, kita masih bisa membuat kenangan bersama."
Aku menghela napas, mencoba mencerna kata-kata Ibu. "Tapi… apa Ayah akan benar-benar sembuh, Bu?"
Ibu tersenyum, walau tampak sedikit getir. "Kita nggak tahu, Nak. Tapi kita harus berusaha dan berharap yang terbaik. Dan kamu, teruslah berkarya. Ayah pasti bangga melihat kamu nggak berhenti menggambar."
Aku terdiam, merasakan perasaan hangat sekaligus berat di dalam dadaku. "Aku akan terus mencoba, Bu. Tapi kadang aku merasa sulit untuk kuat, apalagi di sekolah. Teman-teman nggak mengerti apa yang aku alami."
Ibu mengangguk, menatapku penuh pengertian. "Mungkin karena mereka belum pernah mengalami hal yang sama, Alika. Tapi kamu harus tahu, kamu nggak sendirian. Selalu ada Ibu di sini, dan Ayah juga."
Tepat saat itu, terdengar suara langkah lemah dari luar kamar. Ayah berdiri di sana, meskipun terlihat letih, tapi senyumnya tetap hangat. "Apa kalian sedang bicara soal Ayah?" tanyanya dengan suara parau, tetapi matanya bersinar lembut.
"Eh, Ayah," aku segera berdiri dan menghampirinya, sedikit terkejut. "Aku nggak menyangka Ayah akan datang ke kamar."
Ayah tersenyum, lalu melangkah perlahan ke arah meja gambarku. Dia melihat hasil karyaku dan mengangguk bangga. "Kamu benar-benar berbakat, Alika. Ayah bangga punya anak sepertimu."
Mendengar pujian itu, perasaanku campur aduk antara senang dan sedih. "Aku cuma ingin Ayah tahu kalau aku nggak akan berhenti menggambar, meskipun kadang aku merasa berat."
Ayah meraih bahuku dan menatapku dengan lembut. "Nak, hidup memang tidak selalu mudah. Kadang kita harus melewati masa-masa yang sulit. Tapi kamu punya sesuatu yang istimewa, sesuatu yang bisa kamu pegang erat."
"Apa itu, Yah?" tanyaku, penasaran.
"Sebuah harapan dan kemampuan untuk terus berjalan. Dengan menggambar, kamu punya dunia yang bisa kamu ciptakan sendiri. Dunia di mana kamu bisa merasakan kedamaian," jawab Ayah sambil tersenyum.
Aku menatapnya dalam-dalam, merasa menemukan semangat baru dari kata-katanya. "Ayah benar. Mungkin aku terlalu terfokus pada kesulitan, sampai lupa pada apa yang membuatku merasa bahagia."
Ibu menepuk bahuku lembut, ikut tersenyum. "Itulah yang membuat Ayah dan Ibu selalu mendukungmu, Alika. Kami ingin kamu terus menjadi dirimu yang penuh semangat."
Aku menatap keduanya, merasakan rasa syukur yang mendalam. "Aku janji, aku akan terus menggambar. Dan aku akan menggambar lebih baik lagi, buat Ayah dan Ibu."
Ayah mengangguk bangga, matanya berkaca-kaca. "Itulah yang Ayah inginkan, Alika. Teruslah bermimpi, teruslah berjuang."
Malam itu, aku tidur dengan hati yang lebih tenang, merasa bahwa dalam setiap garis yang kuciptakan, ada cinta dan dukungan yang Ayah dan Ibu berikan. Aku tahu bahwa aku tidak akan sendirian menghadapi ini, karena cinta mereka akan selalu menjadi kekuatanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...