Aku duduk di sebelah Ayah di kamar rumah sakit, suara mesin-mesin medis yang beroperasi perlahan-lahan menjadi latar belakang yang begitu akrab. Ayah terbaring di sana, lemah, namun berusaha tersenyum setiap kali melihatku.
Ibu duduk di sisi lain tempat tidur Ayah, tangannya menggenggam erat tangan Ayah. Sejak beberapa minggu terakhir, sudah begitu banyak upaya yang dilakukan, pengobatan yang diusahakan, tetapi keadaan Ayah belum menunjukkan kemajuan.
Ayah menoleh padaku, senyumnya lembut namun penuh rasa letih. "Alika, bagaimana sekolah?"
Aku tersenyum kecil, berusaha untuk tidak menunjukkan kekhawatiran. "Baik, Ayah. Aku… aku juga kembali menggambar, seperti yang Ayah minta."
Ayah mengangguk pelan. "Bagus. Itu yang Ayah suka dengar. Jangan sampai kamu menyerah pada mimpimu, ya?"
Ibu menatap Ayah dengan sorot mata penuh kesedihan. "Kamu juga jangan menyerah, Yah. Kita sudah mencoba banyak hal. Masih ada harapan, kan?"
Ayah menatap Ibu lama, seolah-olah sedang mencari jawaban di balik matanya. "Aku tahu, Sayang. Tapi… kadang, aku merasa tubuhku tidak lagi kuat."
Ibu menggenggam tangannya lebih erat. "Kamu nggak boleh bicara seperti itu. Kami di sini semua berdoa dan berharap untuk kesembuhanmu."
Aku menunduk, mendengarkan setiap kata mereka. Hati kecilku merasakan ketidakpastian yang semakin besar, tapi aku mencoba menyembunyikan perasaan itu. "Ayah, kita masih punya waktu, kan? Kita akan terus berjuang," ujarku, suaraku sedikit bergetar.
Ayah tersenyum, mengusap punggung tanganku pelan. "Alika, kamu adalah cahaya Ayah. Kalian berdua adalah segalanya buat Ayah. Dan Ayah akan terus berusaha, tapi… jika memang nanti Tuhan punya rencana lain…"
Ibu langsung memotong, matanya berkaca-kaca. "Kita nggak bicara soal itu sekarang. Kita masih punya waktu. Aku akan cari pengobatan lain, metode lain, apapun yang mungkin bisa membantu."
Ayah menatap Ibu penuh kasih sayang. "Istriku yang kuat. Kamu selalu memberikan semangat padaku, dan aku tahu kamu melakukan segalanya."
Aku menghela napas, tak mampu menahan rasa sedih yang semakin menghimpit. "Ayah… aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa Ayah. Rasanya terlalu sulit."
Ayah mengusap rambutku, senyumnya hangat. "Nak, hidup memang penuh ujian. Jika suatu hari nanti Ayah harus pergi, Ayah ingin kamu tahu bahwa Ayah akan selalu bangga padamu, apapun yang terjadi."
Aku merasakan air mata mulai mengalir di pipiku. "Tapi aku belum siap, Ayah. Aku masih ingin Ayah di sini, masih ingin kita bersama-sama."
Ibu ikut terisak, namun ia tetap mencoba terlihat kuat. "Kita semua belum siap, Alika. Tapi kita akan terus berusaha dan berdoa."
Ayah terdiam sejenak, seolah berpikir dalam-dalam. "Kadang, kita tidak bisa mengontrol semuanya. Tapi kita bisa memastikan bahwa setiap saat yang kita miliki dihabiskan dengan cinta."
Ayah mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku dengan lembut. "Alika," katanya pelan, "kamu tahu Ayah selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu, kan?"
Aku mengangguk, menahan air mata. "Iya, Ayah. Aku tahu."
"Ayah ingin kamu tumbuh kuat, bahkan lebih kuat dari Ayah. Dan Ayah percaya kamu bisa," katanya dengan senyum kecil, meski terlihat lelah.
"Tapi Ayah," kataku, suaraku sedikit bergetar. "Aku belum siap untuk kehilangan Ayah. Aku nggak tahu harus gimana kalau Ayah nggak ada."
Ayah menatapku dengan pandangan lembutnya, mata yang penuh kasih sayang. "Kamu nggak akan pernah kehilangan Ayah, Nak. Ayah selalu ada dalam setiap kenangan yang kamu simpan, setiap tawa, dan setiap pelajaran yang Ayah berikan."
Aku menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang ingin meledak. "Tapi itu nggak sama, Ayah. Aku masih mau Ayah ada di sini, untuk melihat semua hal yang akan terjadi."
Ayah menarik napas panjang. "Alika, hidup ini kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi kita harus tetap berani menghadapi setiap tantangan. Kamu kuat, lebih kuat dari yang kamu kira."
Aku menggeleng, merasa sulit untuk menerima kata-kata itu. "Ayah, aku masih takut. Aku takut menghadapi dunia ini tanpa Ayah di sini."
"Ayah mengerti, Nak," katanya lembut. "Tapi kamu nggak sendirian. Ada Ibu, ada teman-temanmu, dan ada juga mimpi-mimpimu yang bisa kamu kejar."
Aku menatapnya, berusaha memahami. "Ayah… kalau Ayah nanti nggak ada, apa yang harus aku lakukan?"
Ayah tersenyum tipis. "Lanjutkan hidupmu, Alika. Teruslah menggambar. Jangan berhenti karena rasa sakit. Biarkan setiap goresan yang kamu buat jadi pengingat bahwa kamu pernah punya seseorang yang sangat mencintaimu."
Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. "Aku akan berusaha, Ayah. Untuk menjadi sekuat yang Ayah harapkan."
Ayah mengangguk puas. "Itulah yang Ayah ingin dengar. Jadilah versi terbaik dari dirimu, Alika. Ayah percaya kamu bisa."
"Dan Ayah juga harus tetap berjuang, ya?" kataku, mencoba tersenyum.
Ayah menatapku, kemudian meraih tanganku erat. "Ayah akan berjuang, Nak. Ayah janji. Selama Ayah masih bisa, Ayah akan bertahan untuk kalian."
Aku menunduk, lalu menggenggam tangannya lebih erat. "Ayah… terima kasih untuk segalanya. Untuk setiap momen yang Ayah berikan buat aku."
"Ayah akan selalu ada dalam hatimu, Alika. Jadi jangan pernah merasa sendirian, ya?" kata Ayah lembut, suaranya penuh keteguhan yang membuatku semakin yakin meski hanya sedikit.
Aku mengangguk lagi, perasaan campur aduk memenuhi hatiku. "Aku janji, Ayah. Aku akan selalu ingat Ayah di setiap langkah yang aku ambil."
Ayah tersenyum lelah namun penuh cinta, dan aku tahu dalam hatiku, setiap kata yang ia ucapkan akan selamanya tertanam dalam diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Cerita Pendekmemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...