Pagi itu, aku melihat Ibu sedang duduk di meja makan dengan secangkir teh di tangannya. Pandangannya mengarah ke jendela, menatap ke luar dengan senyuman yang tenang. Aku tahu senyum itu—senyum yang menyembunyikan perasaan dan harapan. Dalam hatinya, Ibu pasti masih menyimpan luka yang belum sembuh, sama sepertiku. Tapi pagi ini, ada kehangatan yang berbeda. Aku duduk di sebelahnya, ikut merasakan momen yang langka ini.
“Pagi, Bu,” sapaku pelan.
Ibu menoleh dan tersenyum lembut. “Pagi, Alika. Sudah lama ya, kita nggak sarapan sambil ngobrol begini.”
Aku mengangguk, menatap cangkir teh Ibu yang mengeluarkan aroma harum. “Iya, Bu. Rasanya sepi akhir-akhir ini. Tapi hari ini, entah kenapa... terasa berbeda.”
Ibu menatapku sejenak, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya. "Iya, Nak. Kita harus belajar menghadapi semuanya dengan lebih baik. Ayah mungkin nggak lagi di sini, tapi dia selalu ada di hati kita."
Aku menunduk, merasakan ada kehangatan yang mengalir dari genggaman tangan Ibu. "Bu... apa Ibu juga merasa sulit setiap harinya?" tanyaku ragu.
Ibu menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Setiap hari itu tantangan, Alika. Kadang Ibu merasa hampa, kadang marah, kadang sedih. Tapi ketika Ibu melihat kamu dan Raka... Ibu ingat alasan kenapa Ibu harus tetap kuat."
Aku merasa dadaku sesak mendengar kata-kata Ibu. "Aku juga, Bu. Aku... aku rindu Ayah. Tapi aku ingin Ibu tahu, aku juga akan coba kuat."
Ibu tersenyum, dan tanpa berkata apa-apa, ia menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat, menenangkan, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Alika, kita nggak harus kuat sepanjang waktu. Kadang kita bisa berhenti, menangis, dan merasa sedih. Yang penting, kita nggak sendirian. Kita saling punya,” bisik Ibu di dekat telingaku.
Aku memejamkan mata, menikmati kenyamanan itu. "Iya, Bu. Kita nggak akan sendirian."
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang penuh arti. Ketika akhirnya kami melepaskan pelukan itu, Ibu menatapku dengan sorot mata yang penuh kasih.
“Kamu tahu, Alika… Ayah pasti ingin kita bahagia. Mungkin kita butuh waktu, tapi kita pasti bisa melakukannya,” ucap Ibu.
Aku tersenyum, merasa sedikit lebih lega. “Terima kasih, Bu. Aku akan coba. Aku akan coba terus berjalan, seperti yang Ayah harapkan.”
Malam itu, setelah aku dan Ibu berbincang, kami duduk berdua di ruang keluarga. Hanya ada lampu redup di sudut ruangan, yang memberikan suasana tenang dan hangat. Rasanya jarang sekali kami punya momen seperti ini; hanya aku dan Ibu, tanpa gangguan apa pun. Sekarang aku bisa merasakan betapa damainya berada di sisinya.
“Ibu, pernahkah Ibu merasa... ragu?” tanyaku pelan, memecah keheningan.
Ibu tersenyum kecil, menatapku lembut. “Tentu saja, Alika. Ada banyak hal dalam hidup yang membuat Ibu merasa ragu. Tapi Ayahmu selalu bilang, kita harus tetap berusaha meskipun belum yakin.”
Aku mengangguk, mengerti bahwa Ibu juga melalui banyak perjuangan yang tidak pernah terlihat. “Aku... kadang merasa takut, Bu. Takut kalau suatu hari aku nggak bisa menjadi seperti yang Ayah harapkan.”
Ibu meletakkan tangannya di pundakku, mengusapnya lembut. “Kamu tahu, Nak, Ayahmu sangat bangga padamu. Dia nggak pernah memaksa kamu untuk menjadi apa-apa selain dirimu sendiri. Keinginan Ayahmu hanyalah agar kamu selalu bahagia, dan selalu menjalani hidup dengan senyuman.”
Aku terdiam, memikirkan kata-kata itu. Ayah memang selalu mengajarkanku untuk menikmati setiap momen, seberat apa pun situasinya. Seakan-akan dia tahu bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, tapi senyuman bisa membuatnya lebih ringan.
“Ibu... kalau saja aku bisa lebih kuat,” ucapku lirih.
Ibu menatapku dengan sorot mata yang dalam. “Alika, kekuatan nggak selalu terlihat dari seberapa besar kita mampu menahan rasa sakit. Kadang, kekuatan justru ada saat kita mampu menerima dan melangkah maju, meskipun dengan langkah yang kecil.”
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. “Iya, Bu. Mungkin aku hanya perlu memberi waktu pada diri sendiri.”
Ibu mengangguk. “Betul sekali. Kadang kita butuh waktu untuk sembuh, dan itu nggak apa-apa. Tapi Ibu yakin, suatu hari nanti kamu akan kembali berdiri dengan teguh. Kita akan melangkah bersama, Nak.”
Aku menatap Ibu, merasakan kehangatan yang begitu mendalam. “Terima kasih, Bu. Aku janji, aku akan coba lebih kuat setiap harinya.”
Ibu tersenyum, lalu merangkulku. “Kamu sudah kuat, Alika. Hanya dengan berani menghadapi semuanya, itu sudah menunjukkan kekuatan yang luar biasa.”
Kami duduk berdua, menikmati momen keheningan itu. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan, hanya kehangatan yang perlahan-lahan mengisi kekosongan di dalam hati. Dalam keheningan itu, aku tahu bahwa meski Ayah telah pergi, aku masih memiliki Ibu yang selalu ada, selalu kuat, dan selalu siap membimbingku melewati setiap masa sulit.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa perlahan tapi pasti, kami akan baik-baik saja.
****
Pagi berikutnya, aku bangun dengan hati yang lebih ringan. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, ada perasaan tenang yang menyelimuti. Kata-kata Ibu semalam masih membekas dalam ingatanku, membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.
Aku mengambil buku catatan kecil yang Ayah berikan untukku beberapa tahun lalu. Di sana, Ayah sering menuliskan kutipan, pesan, atau sekadar coretan sederhana yang mengingatkanku pada nasihat-nasihatnya. Membuka halaman pertama, aku menemukan tulisan tangannya yang rapi:
"Alika, ingatlah selalu, hidup ini seperti ombak. Kadang kita merasa di atas, kadang kita tersapu ke bawah. Tapi selama kita tetap berenang, kita akan selalu kembali ke permukaan."
Aku tersenyum membaca kalimat itu. Sepertinya Ayah tahu bahwa suatu hari aku akan butuh kata-kata penyemangat ini. Melihat pesan-pesan sederhana itu membuatku merasa dekat dengannya meskipun ia sudah tiada. Setiap halaman membawa kenangan, seolah-olah Ayah masih berbicara kepadaku melalui kata-kata yang ia tinggalkan.
Ketika aku duduk di ruang tamu, Ibu datang membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di sebelahku, memperhatikan wajahku dengan tatapan yang penuh kasih.
“Sedang membaca apa, Alika?” tanyanya lembut.
Aku mengangkat buku catatan itu, tersenyum tipis. “Pesan-pesan Ayah, Bu. Rasanya seperti Ayah masih di sini kalau aku membacanya.”
Ibu tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ayahmu memang selalu punya cara untuk menjaga kita meskipun dia sudah tidak ada.”
Aku mengangguk, merasakan kehangatan dalam kata-kata itu. Kami duduk bersama, menikmati keheningan pagi yang menenangkan. Meski ada perasaan rindu yang begitu kuat, aku mulai menyadari bahwa aku bisa menemukan kekuatan dalam kenangan bersama Ayah. Aku mungkin tak bisa lagi melihat atau berbicara dengannya, tapi kenangan dan nasihatnya akan selalu hidup di hatiku.
Waktu berlalu, dan aku mencoba untuk kembali menjalani rutinitas sehari-hari. Setiap kali rasa sedih datang, aku membiarkan diriku merasakannya, tidak lagi mencoba menahan atau menolak. Dengan cara itu, perasaan-perasaan itu pelan-pelan berkurang, memberi ruang untuk rasa damai.
Saat malam tiba, aku kembali ke kamar dan membuka jendela, menatap langit malam yang penuh bintang. Melihat ke atas, aku berbisik dalam hati, membayangkan bahwa Ayah sedang mendengarku.
"Ayah, aku akan berusaha. Aku ingin menjalani hidup ini dengan senyuman, seperti yang selalu Ayah ajarkan."
Langit malam begitu tenang, seolah mengiyakan kata-kataku. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan masih banyak waktu yang harus kulalui tanpa Ayah di sisiku. Namun, dengan dukungan Ibu, dengan kenangan indah bersama Ayah, aku yakin bahwa aku bisa melangkah maju.
Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi kuat, untuk menjaga kehangatan yang Ayah tinggalkan dalam hatiku. Karena aku tahu, ini bukan sekadar tentang kehilangan, tetapi tentang menemukan kembali kekuatan yang telah Ayah ajarkan padaku sejak dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...