Malam itu, suasana di ruang keluarga begitu hening. Hanya terdengar suara desahan napas Ayah yang terdengar lelah. Ibu duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya erat. Aku dan Adik duduk di dekat mereka, berusaha menahan kesedihan yang terus merayap dalam hati. Hari-hari ini, kondisi Ayah semakin memburuk, dan kami semua mulai merasa semakin khawatir.
"Ibu, apakah Ayah akan baik-baik saja?" tanyaku pelan, berusaha menahan suara yang mulai bergetar.
Ibu menatapku dengan tatapan yang penuh kesedihan namun tegar. "Ibu nggak tahu, Alika... Tapi kita bisa terus berdoa, meminta agar Tuhan memberi yang terbaik untuk Ayah."
Mendengar itu, air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Aku menggenggam tangan Adik yang duduk di sebelahku, dan kami semua mulai memanjatkan doa dengan khusyuk. Dalam keheningan malam itu, aku merasa ada kekuatan yang halus tapi nyata—perasaan bahwa meskipun kami sedang mengalami cobaan berat, Tuhan masih ada di sini bersama kami.
Keesokan harinya, kami sekeluarga sepakat untuk mulai menjalani doa bersama setiap pagi dan malam, berharap bahwa kedekatan kami pada Tuhan akan membantu Ayah. Setiap kali kami berdoa, aku melihat Ibu yang tampak begitu tulus dalam harapannya. Dia tidak hanya mendoakan kesembuhan Ayah, tapi juga berdoa agar kami semua diberi kekuatan dan kesabaran.
Malam itu, setelah kami selesai berdoa, Ibu menyentuh bahuku. "Alika, Ibu tahu ini berat buat kamu. Tapi, Tuhan pasti punya rencana yang terbaik buat kita."
Aku mengangguk pelan. Meskipun kata-kata Ibu memberikan sedikit ketenangan, aku masih sulit menerima bahwa semua ini adalah bagian dari rencana Tuhan. Aku masih bertanya-tanya, kenapa Ayah harus menderita seperti ini? Kenapa harus kami yang diuji?
Hari-hari berlalu, dan kondisi Ayah semakin lemah. Setiap hari, kami bergantian menjaganya, memastikan bahwa dia tidak merasa kesepian. Namun, ada saat-saat di mana aku merasa begitu putus asa dan kesal. Aku ingin berteriak, ingin menumpahkan semua rasa marah dan kecewa ini.
Suatu sore, saat aku duduk di dekat Ayah, aku melihatnya menatapku dengan tatapan yang lemah tapi penuh kasih.
“Alika… Ayah minta maaf, ya, kalau selama ini Ayah membuat kamu khawatir,” ucapnya dengan suara serak.
Aku menatap Ayah, mencoba menahan air mata. “Nggak, Yah. Jangan bilang begitu… Ini bukan salah Ayah. Ayah hanya perlu sembuh.”
Ayah tersenyum lemah. “Ayah juga ingin sembuh, Nak. Tapi… semua ini di luar kendali kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha, berdoa, dan tetap sabar.”
Kata-kata Ayah seolah membangkitkan kesadaranku. Namun, di dalam hati, aku masih merasa berat untuk menerima semua ini dengan ikhlas. Rasanya kesabaran kami terus diuji, dan aku takut bahwa kekuatan kami suatu hari akan habis.
Ketika malam tiba, Ibu mengajak kami semua untuk kembali berdoa. Suara Ibu terdengar penuh harapan dan kekuatan. Tetapi, aku melihat tatapan lelah di wajahnya, yang mungkin sudah berusaha ditutupinya selama ini.
Setelah doa selesai, aku menatap Ibu, yang sedang membereskan tempat duduk. “Bu, sampai kapan kita harus sabar?”
Ibu menatapku dengan tatapan penuh pengertian. “Alika, kesabaran itu tidak ada batasnya, Nak. Kalau kita benar-benar beriman, kita akan berusaha tetap sabar tanpa mengeluh.”
“Tapi, Bu…” suaraku bergetar. “Rasanya berat sekali. Rasanya seperti Tuhan menguji kita tanpa akhir.”
Ibu menghampiriku dan memelukku erat. “Ibu tahu ini berat, Alika. Tapi ingat, kesabaran bukan berarti kita nggak boleh merasa sedih atau marah. Kesabaran berarti kita tetap berusaha kuat, meskipun kita merasa lelah.”
Malam itu, kata-kata Ibu terus terngiang di kepalaku. Meski aku masih kesulitan untuk menerima semua ini, aku merasa bahwa mungkin, kesabaran kami memang sedang diuji untuk menjadi lebih kuat.
Beberapa hari kemudian, Ayah mengalami kondisi yang sangat lemah hingga harus dibawa ke rumah sakit. Di sana, kami semua duduk di ruang tunggu, dengan pikiran yang dipenuhi kecemasan. Ibu terus berdoa, sementara aku dan Adik saling berpegangan, berusaha menenangkan diri.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang perawatan dan menghadap kami.
“Ibu, kondisi Bapak semakin lemah. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, tapi kami juga berharap agar keluarga tetap kuat dan tabah menghadapi ini.”
Kata-kata dokter seolah menusuk hati kami. Aku melihat Ibu menahan air mata, mencoba tetap tegar meskipun wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Dalam hati, aku berdoa lagi, memohon agar Tuhan memberi kami keajaiban.
Malam itu, kami kembali berdoa bersama di rumah sakit, berharap agar Tuhan mendengar permohonan kami. Di setiap doa yang kupanjatkan, aku memohon agar Tuhan memberiku kekuatan untuk tetap sabar dan tegar menghadapi segala kemungkinan.
Waktu berjalan begitu lambat, tapi aku berusaha untuk tidak kehilangan harapan. Kami semua tahu bahwa jalan ini penuh dengan cobaan, tetapi dalam hati kami tetap ada keinginan yang kuat untuk melihat Ayah sehat kembali.
Hari itu, aku menyadari bahwa kesabaran bukan hanya sekedar menunggu dengan diam. Kesabaran adalah tentang berjuang dengan seluruh hati, meskipun rasa sakit dan kesedihan terus datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Contomemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...