Hari itu datang dengan keheningan yang tak biasa. Semuanya terasa lebih pelan, lebih berat, seolah dunia ikut bersiap menghadapi perpisahan yang tak terhindarkan. Di sisi tempat tidur Ayah, aku dan Ibu duduk berdekatan, saling menggenggam tangan, mencoba saling menguatkan. Kami berdua tahu bahwa waktu yang tersisa bersama Ayah tinggal hitungan jam.
Ayah tampak tenang, wajahnya damai meski tubuhnya kian lemah. Di setiap tarikan napasnya yang pelan, aku merasakan kenangan-kenangan kami seolah hidup kembali: tawa dan canda masa kecil, pelukan hangatnya saat aku sedih, nasihat-nasihat bijak yang ia sampaikan saat aku mulai tumbuh dewasa.
Aku mendekat, menatap wajahnya yang pucat namun masih menunjukkan senyum kecil. Perlahan, Ayah membuka matanya, matanya sedikit kabur, namun senyumnya tetap hangat.
"Alika," panggilnya dengan suara pelan.
"Ya, Ayah. Aku di sini," jawabku sambil menggenggam tangannya yang terasa dingin.
"Ayah ingin... ingin kamu dan Ibu selalu bersama... kuat, ya?" katanya, suaranya lemah namun penuh ketulusan. "Kamu sudah dewasa, Alika. Ayah yakin kamu bisa menjaga Ibu."
Air mataku mulai mengalir, namun aku menahannya agar Ayah bisa melihat senyumku. "Iya, Ayah. Aku berjanji. Aku akan menjaga Ibu dan berusaha kuat."
Ayah mengangguk pelan, wajahnya tampak lega. Ibu pun ikut menatap Ayah dengan senyum lembut, meski aku tahu hatinya pasti hancur.
"Ayah... kami sangat mencintaimu," bisikku, suaraku hampir tak terdengar karena tangis yang kutahan.
"Ayah juga mencintai kalian... selalu," jawabnya. "Ingatlah, Nak, Ayah akan selalu ada dalam hati kalian."
Pelan-pelan, Ayah menutup matanya, napasnya semakin pelan, hingga akhirnya berhenti. Keheningan memenuhi ruangan. Ayah telah pergi, meninggalkan kami dalam kedamaian yang tak terucapkan.
Aku dan Ibu hanya bisa berpelukan, tangisan kami tak tertahan lagi. Kami menangis bersama, melepas sosok yang begitu berharga dalam hidup kami. Perasaan kehilangan ini begitu dalam, namun ada kehangatan yang tertinggal—kehangatan dari cinta dan kenangan yang Ayah tinggalkan.
Hari itu, kami menyadari bahwa meski Ayah tak lagi ada di sisi kami, cintanya akan tetap hidup, dalam setiap kenangan dan pelajaran yang ia berikan. Dan meski rasa sedih ini akan terus ada, aku tahu Ayah ingin kami melanjutkan hidup dengan senyuman yang ia tinggalkan.
****
Beberapa hari setelah kepergian Ayah, rumah kami ramai dengan orang-orang yang datang melayat, memberikan dukungan dan menyampaikan belasungkawa. Aku melihat banyak wajah yang datang dan pergi, mendengar kata-kata penghiburan yang diberikan dengan tulus. Namun, di tengah semua itu, hatiku terasa kosong, seakan bagian dari diriku ikut pergi bersama Ayah.
Di malam hari, ketika semua tamu telah pulang dan hanya tinggal aku dan Ibu, rasa sepi benar-benar terasa mencekam. Ibu sering terjaga di ruang tamu hingga larut, hanya duduk di kursi Ayah sambil memandang foto keluarga kami yang tergantung di dinding. Aku bisa melihat sorot matanya yang penuh kesedihan, namun ia berusaha tegar di depanku.
Suatu malam, aku memberanikan diri duduk di sebelahnya. Tanpa berkata apa-apa, kami hanya saling menatap, berbagi rasa sakit yang sama. Ibu akhirnya berbicara dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
“Alika, kamu tahu, Ayahmu adalah kekuatan terbesar dalam hidup Ibu. Dia yang selalu ada di saat Ibu merasa lelah atau putus asa. Tapi sekarang...” Ibu berhenti, mencoba menahan air matanya.
Aku mengangguk, merasakan keperihan yang sama. “Aku juga merasa begitu, Bu. Rasanya... seolah kehilangan bagian dari diriku sendiri.”
Ibu meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Tapi, Ayah pasti tidak ingin kita terpuruk terlalu lama. Dia selalu ingin kita kuat, kan?”
Aku menatap mata Ibu, dan untuk pertama kalinya aku melihat ada kekuatan di sana, meski terbungkus oleh duka yang mendalam. “Iya, Bu. Ayah ingin kita bahagia dan menjalani hidup dengan senyuman, seperti yang selalu ia lakukan.”
Kami duduk di sana bersama-sama, berusaha saling menguatkan. Aku mulai menyadari bahwa meskipun rasa sakit ini mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, aku memiliki Ibu, dan kami berdua memiliki cinta Ayah yang akan selalu ada di dalam hati kami. Itu adalah pengingat bahwa hidup, meskipun penuh kehilangan, juga dipenuhi oleh cinta yang abadi.
Di hari-hari berikutnya, aku berusaha kembali pada rutinitasku—sekolah, menggambar, dan bercengkerama dengan teman-teman. Meski rasanya sulit, aku tahu ini adalah bagian dari perjalanan untuk melanjutkan hidup. Setiap kali aku merasa hampa, aku ingat kata-kata terakhir Ayah dan janji yang kubuat padanya. Itu memberiku kekuatan untuk terus maju.
Begitu juga dengan Ibu. Meski terkadang aku melihatnya termenung sendirian, aku bisa merasakan bahwa dia mencoba berdamai dengan perasaannya, belajar hidup tanpa Ayah di sisinya. Kami berdua saling mengingatkan untuk tidak menyerah, untuk terus melangkah meskipun sulit.
Kehilangan Ayah memang meninggalkan luka mendalam, namun juga memberikan kami pelajaran penting tentang cinta, kekuatan, dan keberanian. Seiring waktu, kami mulai belajar untuk menghargai kenangan-kenangan yang Ayah tinggalkan, tanpa merasa terbebani oleh kesedihan yang tak berujung.
Malam-malam panjang kini mulai diisi oleh doa-doa dan harapan. Setiap kali menatap bintang-bintang di langit malam, aku merasa Ayah ada di sana, tersenyum dan bangga melihat kami berusaha melanjutkan hidup. Dan meskipun rindu ini tidak akan pernah pudar, aku tahu Ayah akan selalu menjadi bagian dari diriku dan hidupku, selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Historia Cortamemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...