Episode 1

9 7 0
                                    

Langit sore itu berwarna keemasan, memancarkan sinar lembut yang menerpa daun-daun di pekarangan rumah. Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa aroma tanah basah setelah hujan siang tadi. Aku duduk di teras, menggambar apa saja yang terlintas di pikiranku, terutama langit. Sejak kecil, aku selalu terpesona dengan langit. Menurut Ayah, langit adalah hadiah dari Tuhan, selalu ada di atas kita untuk mengingatkan tentang harapan dan keindahan yang bisa ditemukan meskipun hari-hari terasa berat.

Aku menoleh ketika mendengar suara langkahnya. Ayah berdiri di sana, senyum lembut menghiasi wajahnya. Wajah yang selalu terlihat tenang, meski kami tahu hidup ini tidak selalu ramah. Ayah datang membawa secangkir teh untuk kami nikmati bersama. Duduk di sampingku, beliau melirik gambar yang sedang kukerjakan.

"Sedang menggambar apa, Alika?" tanyanya, memandang ke arah gambar langit senja yang baru saja kuwarnai.

"Langit, seperti biasa. Tapi kali ini aku coba menggambar awan yang lebih besar," jawabku sambil memperlihatkan sketsa kasar yang masih belum selesai.

Ayah tersenyum, pandangannya lembut. "Kamu berbakat, Nak. Ayah yakin, suatu hari nanti kamu akan membuat banyak orang terkesan dengan gambar-gambarmu."

Mendengar pujian itu membuat hatiku hangat. Ayah selalu memberiku dorongan, selalu membuatku merasa berharga. Kami berbincang panjang sore itu, tentang banyak hal-mimpi, harapan, dan kenangan yang sudah kami lalui. Ayah bercerita tentang masa kecilnya di desa, tentang pohon besar tempat dia sering memanjat, tentang langit malam yang dulu terasa lebih gelap namun penuh bintang.

"Ayah," kataku, sambil mengamati wajahnya. "Menurut Ayah, kenapa kita selalu suka memandang langit?"

Beliau tertawa pelan, seolah-olah pertanyaanku sederhana namun penuh makna. "Langit itu... tak terbatas, Alika. Sama seperti impian kita. Memandang langit mengingatkan kita bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar apa yang ada di depan mata kita."

Kata-kata Ayah selalu menginspirasi. Langit sore itu terus berubah warna, dari keemasan menjadi merah jambu dan ungu tua, hingga akhirnya malam menjelang. Kami tetap duduk di sana, menikmati kedamaian yang seolah memenuhi hati kami.

Di tengah kebersamaan itu, aku tak pernah menyangka bahwa kebahagiaan ini akan segera retak. Bahwa langit yang selalu Ayah ceritakan akan menjadi simbol kenangan tentang dirinya, dan bukan lagi tentang impian-impian yang belum sempat terwujud.

♦♦♦

Aku menikmati saat-saat bersamanya, mengukir setiap momen agar tak terlupakan. Ayah adalah sosok yang selalu membuatku merasa aman, seolah segala hal di dunia ini baik-baik saja selama dia ada di sisiku. Saat aku berada di dekatnya, perasaanku selalu tenang.

Kami sering menghabiskan waktu di teras rumah kecil kami, seperti sore ini. Bagiku, inilah saat-saat yang paling nyaman. Hanya ada kami berdua, tanpa ada yang perlu dibicarakan kalau tak ingin. Kadang-kadang, Ayah membacakan cerita atau puisi yang ia suka, membuatku merasa seperti karakter utama dalam kisah-kisah yang dia ceritakan.

"Ayah, kalau Ayah punya kesempatan melihat satu tempat di dunia, Ayah mau lihat apa?" tanyaku tiba-tiba, sambil menoleh padanya.

Ayah terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan jawabannya. "Mungkin, aku ingin melihat aurora. Cahaya yang muncul di langit malam di kutub utara, penuh warna dan bergerak pelan."

Aurora? Aku belum pernah mendengarnya. Dengan penuh rasa penasaran, aku bertanya, "Kenapa aurora?"

"Ada sesuatu yang menakjubkan dari cahaya yang muncul di kegelapan. Sama seperti kita, manusia-terkadang, di masa-masa sulit, justru muncul keindahan dan kekuatan yang tak pernah kita sangka-sangka," jawab Ayah, matanya menyipit melihat ke langit yang mulai gelap.

LANGIT YANG RETAK✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang