Ibu benar-benar tidak pernah berhenti mencari jalan untuk Ayah. Setiap hari, ada saja yang dia lakukan, membaca, bertanya pada kenalan, bahkan mengikuti grup pendukung online yang membahas berbagai pengobatan alternatif. Dia terlihat begitu sibuk, mengisi hari-harinya dengan usaha dan harapan yang tak pernah pudar. Aku kagum padanya, tapi ada sesuatu yang terasa berat di dadaku. Sering kali, aku melihat Ibu duduk di meja makan, membaca sesuatu dengan serius, dan wajahnya tampak begitu lelah.
Pagi itu, aku duduk di depannya sambil menikmati sarapan. Aku menatapnya, ingin tahu apa yang sedang ia baca. “Ibu… apa ada info baru lagi soal pengobatan Ayah?” tanyaku, berusaha membuat suaraku tetap tenang.
Ibu mendongak, matanya sedikit sembab karena kurang tidur. Tapi dia tersenyum, seperti biasa. “Ada, Nak. Ini tentang terapi oksigen hiperbarik. Katanya bisa membantu meningkatkan energi,” jawabnya bersemangat.
Aku mengangguk, berusaha untuk ikut semangat. “Kita bakal coba juga, Bu?”
Ibu mengangguk tegas. “Iya. Apa pun yang bisa membantu Ayah, Ibu pasti coba.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, aku ingin berterima kasih pada Ibu karena tidak pernah menyerah. Di sisi lain, rasa lelah dan khawatir itu membuat pikiranku penuh.
Hari itu, aku pergi ke sekolah dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku ingin fokus, tapi pikiranku terus melayang ke rumah, ke Ayah, ke Ibu. Di kelas, suara guru terasa samar-samar, seperti sedang berbicara dari kejauhan. Aku hanya bisa memandangi papan tulis tanpa benar-benar memahami apa yang tertulis di sana.
“Alika, kamu nggak apa-apa?” tanya Vina, sahabatku, saat istirahat tiba. Dia menatapku dengan cemas.
Aku tersenyum, berusaha menenangkan hatinya. “Aku baik-baik saja, Vin. Cuma lagi mikirin Ayah.”
Vina duduk di sampingku, menepuk bahuku dengan lembut. “Aku ngerti, Ka. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja, ya?”
Aku hanya mengangguk, tidak yakin harus bilang apa. Kadang, aku ingin menceritakan semuanya pada Vina, tapi rasanya terlalu berat. Dia mungkin akan sulit mengerti apa yang sedang kurasakan.
Saat kembali ke kelas, pikiranku masih sama. Rasanya seperti ada dinding yang membatasi antara aku dan dunia. Aku tidak bisa benar-benar fokus pada apa pun yang terjadi di sekolah. Teman-temanku tertawa, bercanda, tapi semua itu terasa seperti jauh dari duniaku sekarang.
Di rumah, aku melihat Ibu masih sibuk mencari informasi di depan laptopnya. Ia mengangkat wajahnya ketika melihatku masuk.
“Gimana sekolahnya, Nak?” tanya Ibu lembut, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
Aku hanya mengangkat bahu. “Ya gitu, Bu.”
Ibu mengangguk, lalu tersenyum. “Ibu tahu kamu lagi kepikiran, tapi tetap semangat, ya? Ayah pasti ingin kamu terus belajar dengan baik.”
Aku menggigit bibir, merasa sedikit bersalah karena pikiranku terus melayang saat di sekolah. “Iya, Bu. Aku cuma… kepikiran Ayah terus.”
Ibu meletakkan tangannya di pundakku. “Ibu juga, Nak. Tapi kita harus kuat. Kita harus bisa bagi waktu, dan kamu harus tetap fokus untuk dirimu sendiri juga, ya?”
Aku mengangguk pelan, meski dalam hati terasa berat. “Iya, Bu. Aku akan coba.”
Malam itu, aku duduk di kamar, memikirkan kata-kata Ibu. Di satu sisi, aku ingin terus memberikan yang terbaik di sekolah. Tapi rasanya sulit, seolah ada sesuatu yang menghalangi semangatku setiap kali aku mencoba. Aku tahu Ayah dan Ibu ingin aku terus maju, tapi bagaimana caranya aku bisa fokus kalau hatiku terus berada di rumah bersama mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...