episode 12

1 1 0
                                    

Di sekolah, segalanya terasa semakin berat. Aku tahu teman-temanku tahu bahwa aku sedang mengalami sesuatu yang besar, tapi tidak banyak yang benar-benar mengerti apa yang aku rasakan. Ketika aku berjalan di lorong, beberapa dari mereka hanya melihatku dengan pandangan simpati yang aneh. Ada yang mendekat untuk menyapa, tapi pembicaraan kami selalu terasa canggung.

Aku duduk di bangkuku, menatap buku pelajaran yang terbuka di depanku tanpa benar-benar membacanya. Di luar, teman-teman sekelasku sibuk berbicara dan tertawa seperti biasa. Aku ingin bergabung, ikut tertawa, tapi rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang memisahkanku dari mereka.

Ketika bel istirahat berbunyi, Vina mendekatiku. Dia adalah satu-satunya yang tampaknya masih berusaha untuk tetap ada di sisiku, meskipun aku tahu dia juga kesulitan untuk memahami situasiku.

“Alika, kamu mau ke kantin?” tanyanya lembut.

Aku menggeleng. “Nggak, Vin. Aku nggak lapar.”

Vina duduk di kursi di sebelahku, menatapku dengan tatapan penuh perhatian. “Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita sama aku?”

Aku tersenyum kecil, meski rasanya senyum itu lebih terasa dipaksakan. “Iya, Vin. Terima kasih.”

Saat Vina pergi, aku kembali duduk sendiri di kelas, memandangi teman-teman yang bercanda di luar kelas. Ada rasa iri yang merayap di hatiku. Bagaimana rasanya bisa merasa bebas, tanpa beban? Rasanya aneh menyaksikan mereka melanjutkan hidup seperti biasa sementara dunia dalam hatiku terasa hancur berantakan.

Ketika mereka kembali masuk ke kelas, beberapa teman melirik ke arahku dengan pandangan bingung. Ada yang mencoba menyapa, tapi aku merasa tidak ada yang benar-benar tahu harus berkata apa. Percakapan yang biasanya menyenangkan terasa kaku dan canggung.

“Apa kamu baik-baik aja, Alika?” Tanya Putri, salah satu teman sekelas yang duduk di depanku. Dia terlihat cemas, tapi aku tahu dia tidak benar-benar mengerti.

Aku hanya mengangguk pelan. “Iya, aku baik-baik aja.”

Dia tersenyum kikuk sebelum kembali pada pekerjaannya, tampak lega karena sudah melakukan apa yang menurutnya benar. Tapi perasaan kesepian di dalam diriku justru semakin kuat. Rasanya seperti berada di tempat yang asing, meskipun aku berada di antara orang-orang yang seharusnya mengenalku.

Setelah pelajaran berakhir, aku mengemasi buku-buku dengan lambat. Vina mendekat lagi, tapi kali ini, aku bahkan tidak ingin berbicara.

"Alika, kenapa kamu kayaknya menjauh? Kami semua peduli sama kamu, lho," katanya hati-hati.

Aku menghela napas panjang. "Aku tahu, Vin. Tapi... kalian nggak ngerti, aku cuma nggak bisa jadi seperti dulu."

Dia terdiam, tampak bingung. "Mungkin kamu bisa ceritain ke aku. Aku mungkin nggak ngerti sepenuhnya, tapi aku akan coba, Alika."

Aku menatapnya, merasa bersalah. Vina sudah mencoba keras, tapi aku tahu perasaan ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Aku hanya tersenyum kecil, menepuk pundaknya.

"Terima kasih, Vin. Kamu teman yang baik. "

*****

Dalam perjalanan pulang, aku menyusuri jalan yang biasa kulewati dengan langkah lambat. Pikiranku masih dipenuhi bayangan wajah teman-teman yang mencoba bersikap biasa, tapi dengan nada percakapan yang terasa asing. Dunia mereka begitu berbeda—penuh tawa, rencana akhir pekan, dan kekhawatiran kecil yang sekarang terasa jauh dariku.

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu dan melihat Ayah duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak lelah, namun dia tersenyum begitu melihatku. “Alika, kamu sudah pulang?” tanyanya dengan nada lembut.

LANGIT YANG RETAK✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang