Hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Setelah beberapa hari di rumah, Ayah kembali merasa lemas dan tubuhnya semakin sulit bergerak. Ibu terlihat lebih cemas daripada sebelumnya, wajahnya tampak pucat meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Aku tahu apa yang akan terjadi. Ayah harus kembali ke rumah sakit untuk menjalani perawatan intensif, dan kami semua tahu ini tidak akan mudah.
"Alika, tolong bantu Ibu persiapkan segala sesuatu. Kita harus segera pergi ke rumah sakit," kata Ibu dengan suara yang lebih berat dari biasanya. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, dan meski berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa takut, aku bisa merasakannya.
Aku segera bangkit dari tempat duduk, mengambil tas dan barang-barang yang dibutuhkan. Adik-adikku sudah berkumpul di ruang tamu, wajah mereka juga dipenuhi kecemasan, meskipun mereka berusaha untuk tetap tenang. Ayah masih terbaring di kamar tidur, terlihat sangat lemah, namun ia tersenyum tipis ketika melihat kami mulai sibuk mempersiapkan perjalanan ke rumah sakit.
"Ibu, aku bisa bantu bawa tas, kok," kataku sambil menghampiri Ibu yang sedang duduk di kursi. Aku bisa melihat betapa lelahnya dia. Matanya mulai tampak sembab, dan aku tahu, walaupun Ibu berusaha untuk tidak menunjukkan itu, dia juga merasa cemas.
"Terima kasih, sayang," jawab Ibu sambil tersenyum lemah. "Ayah akan baik-baik saja. Kamu harus yakin itu."
Aku tidak bisa menahan kekhawatiran yang menghimpit dada. Ayah yang biasanya penuh energi, kini terlihat sangat rapuh. Aku merasa cemas, tetapi aku tahu Ibu tidak ingin kami merasakan ketakutan yang sama. Dia selalu mencoba memberikan kami rasa aman, meskipun di dalam dirinya, dia juga sedang berjuang.
Kami semua membantu Ayah duduk dan mempersiapkannya untuk berangkat ke rumah sakit. Dengan hati-hati, Ibu dan aku memapahnya menuju mobil. Adik-adikku mengikuti dengan wajah cemas, tidak tahu harus berkata apa. Di dalam mobil, suasana menjadi semakin hening. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sementara Ibu dan Ayah saling berpandangan, mungkin mencoba untuk menguatkan satu sama lain.
Sesampainya di rumah sakit, Ibu langsung mengurus administrasi, sementara aku dan adik-adikku duduk di ruang tunggu, menunggu kabar tentang kondisi Ayah. Di sana, aku bisa merasakan ketegangan yang begitu tebal, seperti udara yang sesak di antara kami. Aku hanya bisa memandang ke arah pintu ruang perawatan, menunggu seorang dokter keluar untuk memberi tahu kami tentang perkembangan Ayah.
Tak lama, seorang perawat keluar, dan kami segera berdiri. "Bagaimana keadaan Ayah?" tanya Ibu, suara Ibu terdengar serak, penuh cemas.
Perawat itu tersenyum ramah, meski aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. "Kami sedang melakukan perawatan intensif. Ayah Anda membutuhkan banyak istirahat dan perhatian lebih. Kami akan memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik."
Aku melihat wajah Ibu yang sedikit terangkat, namun senyumannya terasa penuh keraguan. "Apakah kondisinya stabil?" tanya Ibu, suara sedikit gemetar.
Perawat mengangguk. "Sementara ini, dia dalam pengawasan ketat. Kami akan terus memantau kondisinya. Jangan khawatir, kami akan berusaha semaksimal mungkin."
Meskipun perawat itu berbicara dengan lembut, aku bisa merasakan bahwa ada hal yang masih mengganjal dalam hatiku. Ayah dalam perawatan intensif. Itu berarti kondisinya lebih serius dari yang kami duga. Aku menatap Ibu, yang terlihat ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk menahan air matanya. Aku tahu betul bagaimana Ibu—meskipun dia sedang dihimpit kecemasan, dia selalu berusaha keras untuk tetap terlihat kuat di depan kami.
"Ibu," panggilku lembut, dan Ibu menoleh ke arahku. "Kita harus tetap kuat, kan?"
Ibu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Iya, Alika. Kita harus tetap kuat. Ayah pasti akan sembuh, kita harus percaya itu."
Aku menggenggam tangan Ibu, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. "Kami semua di sini buat Ibu, Bu. Kami akan mendukung Ibu."
Ibu menatapku, senyum lelahnya muncul kembali, meskipun tidak sepenuhnya mampu menyembunyikan kecemasannya. "Terima kasih, sayang. Ayah akan baik-baik saja."
Namun, aku tahu perasaan Ibu. Di dalam hatinya, ia juga merasakan ketakutan yang sama dengan kami. Tapi Ibu tidak pernah menunjukkan ketakutannya. Dia selalu berusaha untuk menjadi tiang yang kokoh bagi keluarga kami.
Beberapa jam berlalu, dan kami akhirnya dipanggil untuk masuk ke ruang perawatan. Di sana, Ayah terbaring dengan selang-selang yang terhubung ke tubuhnya, tetapi matanya masih membuka sedikit, menyadari kehadiran kami. Ibu segera duduk di samping Ayah, menggenggam tangannya dengan lembut.
"Pak, kamu harus segera sembuh," kata Ibu dengan suara yang hampir tak terdengar. "Kami semua butuh kamu."
Aku berdiri di samping mereka, merasa bingung dan cemas. Melihat Ayah terbaring seperti itu membuatku semakin merasa tidak berdaya. Aku hanya bisa berdoa agar Ayah segera sembuh, dan Ibu tetap kuat menjalani semua ini.
"Ayah, kami di sini. Kami akan terus berjuang bersama," kataku pelan, meskipun rasanya sulit untuk mengeluarkan kata-kata itu dengan tulus.
Ayah membuka matanya sedikit lebih lebar, meskipun tubuhnya lemah. Dia menatap kami dengan senyuman tipis, senyuman yang penuh kasih. "Terima kasih... kalian semua," kata Ayah dengan suara yang sangat lemah.
Ibu mengelus kepala Ayah, menahan tangisnya. "Ayah harus sembuh. Kami butuh kamu, Ayah."
Aku merasa ada sesuatu yang menahan air mataku. Melihat Ayah dan Ibu seperti itu, aku tahu betapa kuatnya cinta mereka satu sama lain. Ini adalah saat yang paling sulit, namun aku bisa merasakan betapa dalamnya pengorbanan mereka, satu sama lain. Mereka berdua adalah pilar keluarga ini, dan meskipun kami semua cemas, aku tahu kami akan melewati ini bersama.
Hari itu berlalu begitu lambat, tapi kami tetap di sisi Ayah, menunggu berita lebih lanjut dari dokter dan berusaha menjaga semangat. Aku tahu perjalanan ini masih panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...