Suara mesin dan detak monitor mengisi kesunyian kamar rumah sakit saat Namjoon terbangun tiba-tiba. Matanya terbuka lebar, tubuhnya diselimuti keringat dingin. Perih yang terasa di hidungnya pasca-operasi septum deviation masih terasa nyata, namun bukan itu yang membuatnya ketakutan—melainkan mimpi buruk yang baru saja menguasai pikirannya.
Di dalam mimpi itu, ia berdiri di atas danau beku, dikelilingi kesunyian yang menusuk. Di bawah kakinya, es mulai retak, mengeluarkan suara gemeretak yang makin lama makin keras. Setiap langkah yang ia ambil membuat retakan itu semakin luas, siap untuk menelan dirinya ke dalam kegelapan yang dingin dan tak berujung. Ia merasakan desakan untuk berlari, namun tubuhnya seolah membeku, terperangkap dalam kengerian tanpa jalan keluar.
Namjoon menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan mimpi itu terus membekas, memunculkan rasa takut yang tidak bisa ia abaikan. Ia duduk di tempat tidur, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang makin intens. Kepalanya berdenyut hebat, seakan ada sesuatu yang ingin pecah.
*******
Pintu kamar rumah sakit terbuka perlahan. Seokjin masuk, matanya menyipit memperhatikan Namjoon yang terlihat pucat dan terguncang. "Namjoon-ah, kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir, duduk di sisi ranjang.
Namjoon tak langsung menjawab. Hanya bayangan dari mimpi tadi yang berulang kali berputar di benaknya. Ia merasa semakin tenggelam, seolah mimpi itu adalah pertanda yang lebih besar—sebuah peringatan tentang sesuatu yang tak bisa ia hindari.
“Aku mimpi buruk lagi, Hyung,” akhirnya ia berbisik. “Rasanya… seperti ada yang retak dalam diriku, dan aku takut retakan itu akan terus membesar.”
Seokjin menatapnya penuh perhatian, melihat bagaimana wajah sang leader dipenuhi ketakutan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. "Apa yang kau lihat dalam mimpimu?"
Namjoon memejamkan matanya, seolah membayangkan kembali pemandangan di danau beku itu. “Aku… berdiri di atas es. Dan es itu mulai pecah, retakannya semakin besar, dan di bawahnya hanya ada kegelapan. Aku tahu jika aku jatuh, aku tidak akan bisa keluar lagi.”
Seokjin menghela napas panjang, namun tangannya tak lepas dari bahu Namjoon. “Itu hanya mimpi, Joon ah. Kau sudah melewati banyak hal yang lebih sulit. Kita semua di sini bersamamu.”
Namun, Namjoon tetap merasa ada yang salah. Seperti ada perasaan berat yang menggantung di dadanya, menekannya perlahan. Dia ingin mempercayai kata-kata Jin, tetapi bayangan danau beku itu terasa begitu nyata, seolah bagian dari dirinya yang terdalam mencoba memperingatkannya tentang sesuatu yang gelap dan tak terelakkan.
*******
Hari-hari berlalu, tetapi mimpi buruk itu tidak pergi. Setiap malam, Namjoon mendapati dirinya kembali di danau beku itu. Setiap kali ia berusaha melangkah, retakan semakin besar, suaranya memekakkan telinga, mengancam untuk menelannya kapan saja. Ia merasa tubuhnya lelah, seolah-olah retakan itu juga ada di dalam dirinya—di dalam pikirannya yang semakin tertekan oleh rasa takut dan kecemasan.
Di suatu malam, saat ia kembali terbangun dari mimpi, kali ini terengah-engah dan gemetar, member yang lain berkumpul di sisinya. Mereka semua melihat sosok Namjoon yang tampak begitu rapuh, begitu berbeda dari pemimpin kuat yang mereka kenal.
“Namjoon-ah, kau harus bercerita pada kami,” kata Yoongi dengan suara rendah, namun penuh desakan. “Kami tahu ada yang kau sembunyikan.”
Namjoon menunduk, tak sanggup menatap mereka. "Aku takut… aku takut jika aku bercerita, aku akan menyerah pada ketakutanku sendiri," bisiknya, suaranya bergetar.
Taehyung meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kami di sini, hyung. Kau tidak perlu merasa sendirian.”
Namjoon mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya masih ada ketakutan yang sulit ia hilangkan. Seolah-olah danau beku itu terus mengejarnya, retakannya semakin mendekat, dan ia tahu ia tak akan bisa berlari selamanya.