Namjoon menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu komentar yang terpampang di media sosial. Kata-kata pedas dari para haters menghujam hatinya. Seakan setiap komentar yang ia baca adalah serangan langsung pada dirinya, pada nilai dirinya, dan terutama pada visual yang dianggap banyak orang “tidak sesuai dengan standar.” Dalam benaknya, ia mulai bertanya-tanya apakah dirinya memang pantas menjadi seorang leader untuk grup sebesar BTS.
“Namjoon itu jenius, tapi lihatlah visualnya. Seolah-olah dia tidak pantas di panggung besar seperti itu.”
“Kupikir mereka akan memilih leader yang lebih karismatik di depan kamera. Namjoon memang hebat, tapi soal visual? Terlalu buruk.”
Komentar-komentar itu terus menggema dalam benaknya, dan setiap kalimatnya terasa seperti racun yang perlahan-lahan meracuni pikiran dan kepercayaannya pada dirinya sendiri. Sebagai leader BTS, Namjoon selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk para membernya. Ia bekerja keras, menulis lirik, dan bahkan menjadi figur yang bisa diandalkan setiap saat. Tetapi di antara pujian yang ia terima, selalu ada orang-orang yang mengomentari hal-hal yang berada di luar kendalinya. Visual—hal yang telah berulang kali menjadi sorotan dari orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya secara pribadi.
Hari itu, beban yang dipikulnya terasa begitu berat hingga ia tak lagi mampu menahan air mata. Terlalu lelah untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, Namjoon akhirnya memutuskan untuk pergi. Ia merasa perlu waktu untuk menjauh dari segala tekanan dan sorotan publik yang menghimpitnya. Tanpa berpikir panjang, ia menyiapkan sebuah catatan singkat dan meletakkannya di atas meja dorm, berharap bahwa teman-temannya akan mengerti. Ia pun meraih jaketnya dan pergi ke luar malam itu.
Kaki Namjoon membawanya menuju Sungai Han, tempat yang biasa ia datangi untuk mencari ketenangan. Di sana, angin malam menyapu wajahnya dengan lembut, seakan memberikan kenyamanan pada hatinya yang saat ini rapuh. Ia berdiri di tepi sungai, merenungi segala hal yang telah ia capai, segala kesulitan yang ia lewati, dan semua kenangan bersama para member.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat ia melihat sosok yang familiar. Di sana, berdiri ayahnya, yang tampak sedang menikmati pemandangan Sungai Han yang tenang. Perasaan campur aduk memenuhi hati Namjoon; ia tak menyangka akan bertemu ayahnya di tempat ini, terlebih di saat ia merasa begitu lelah.
“Namjoon?” Sang ayah memanggil namanya, lalu berbalik melihat putranya dengan tatapan yang tenang namun penuh perhatian.
Namjoon mencoba menahan emosinya. Ia tidak ingin ayahnya tahu tentang kerapuhan yang ia rasakan, namun tatapan ayahnya seolah-olah mampu menembus setiap lapisan yang telah ia bangun selama ini. Ayahnya mengajak Namjoon untuk duduk di sebuah bangku dekat sungai, tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah beberapa saat, ayahnya bertanya dengan nada yang lembut, “Apa yang membuatmu datang ke sini malam-malam begini, Nak?”
Butuh beberapa saat bagi Namjoon untuk menjawab. Ia ingin mengatakan semuanya, tentang betapa sulitnya menjadi seorang leader, tentang tekanan yang ia rasakan, dan tentang kebencian yang terus ia terima hanya karena penampilannya. Namun, kata-kata itu terasa berat di lidahnya.
“Aku… aku merasa aku tidak pantas, Ayah,” jawab Namjoon dengan suara yang nyaris berbisik. “Banyak orang yang bilang bahwa aku tidak cukup baik sebagai leader… visualku mengecewakan, dan mereka bilang aku tidak pantas berdiri di samping teman-temanku yang lain.”
Ayahnya mendengarkan dengan tenang, membiarkan Namjoon menumpahkan segala perasaan yang telah lama ia pendam. Setelah beberapa saat hening, ayahnya pun berbicara.
“Namjoon, kau tahu betapa panjang dan sulitnya jalan yang sudah kamu lalui, bukan?” ujar sang ayah. “Dulu, saat kamu baru mulai bermimpi menjadi seorang penyanyi, ibumu menentang keras keputusanmu. Dia merasa musik adalah jalan yang penuh ketidakpastian, dan dia tidak ingin kau hidup dalam ketidakstabilan.”
![](https://img.wattpad.com/cover/379621755-288-k826205.jpg)