Siang itu, sinar matahari menembus jendela kamar rumah sakit, menerangi ruangan yang terasa penuh dengan keheningan. Ayah duduk di kursi dekat jendela, matanya menatap jauh keluar, seakan-akan sedang mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan sesuatu yang sudah lama dipendam. Aku dan Ibu duduk di seberang Ayah, menunggu dalam diam, merasakan ketegangan yang samar namun jelas terasa di udara.
“Ada yang ingin Ayah sampaikan,” ujar Ayah akhirnya, suaranya lembut namun penuh makna. Dia mengalihkan pandangannya ke arah kami, matanya memancarkan kehangatan yang membuatku merasa sedikit tenang di tengah segala kekhawatiran ini.
Aku menatap Ayah, merasa ada sesuatu yang penting akan ia ungkapkan. Ibu menggenggam tanganku erat, seakan memberiku kekuatan.
“Ayah…” Ibu mencoba memulai, suaranya hampir berbisik, tetapi Ayah mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Ibu membiarkannya bicara terlebih dahulu.
“Ayah tahu... mungkin waktu Ayah tidak banyak lagi,” katanya pelan namun pasti. Kalimat itu seakan mengguncang hatiku, membuatku merasa seolah gravitasi tiba-tiba menghilang. Mataku mulai panas, namun aku mencoba untuk tetap tenang, agar tidak membuat Ayah khawatir.
“Ayah, jangan bicara seperti itu,” kataku, mencoba menahan isakan. “Kita masih berharap, masih berjuang…”
Ayah tersenyum lembut, menatapku dengan penuh kasih sayang. “Alika, Nak... Ayah tahu kamu kuat. Ayah sangat bersyukur memiliki kamu dan Ibumu. Kalian adalah harta terbesar yang Ayah punya.”
Ibu menundukkan wajah, air mata mulai mengalir di pipinya. “Kamu selalu ada untuk kami, selalu berjuang untuk keluarga ini. Kami tidak pernah meminta yang lain selain kesehatanmu, Yah,” ujarnya pelan, suaranya penuh kepedihan.
Ayah mengangguk, menggenggam tangan Ibu dengan lembut. “Kamu tahu, Sayang, hidup bersama kalian adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan. Setiap hari, Ayah merasa begitu beruntung. Terima kasih… untuk cinta dan kesabaran yang kamu berikan, meskipun Ayah bukanlah sosok yang sempurna.”
Ibu menggeleng pelan, tersenyum di balik air matanya. “Kamu selalu menjadi yang terbaik bagi kami. Tidak ada yang lebih kami inginkan selain bisa melihat kamu sehat lagi.”
Ayah lalu menatapku, tatapan yang begitu dalam hingga aku merasa seolah dia sedang berbicara langsung ke dalam hatiku. “Alika, kamu anak Ayah yang hebat. Ayah ingin kamu tahu bahwa Ayah selalu bangga padamu. Setiap pencapaian, setiap usaha yang kamu lakukan, selalu membuat Ayah merasa bahwa segala perjuangan ini tidak sia-sia.”
Aku mengangguk sambil menggigit bibirku, menahan tangis yang terus mendesak keluar. “Ayah, aku juga bangga sama Ayah. Ayah selalu jadi inspirasiku. Aku janji akan terus berusaha untuk membuat Ayah bangga.”
Ayah tersenyum lagi, senyuman yang penuh keteguhan. “Dan teruslah seperti itu, Alika. Kejar impianmu, dan jadilah orang yang kuat. Ayah ingin kamu bahagia, meski nanti Ayah tidak di sini untuk menyaksikan semuanya.”
Kata-kata Ayah mengiris hatiku. Namun di saat yang sama, aku merasakan sebuah kekuatan yang ia coba tanamkan di dalam diriku, seolah-olah dia ingin memberikan semua keberanian yang ia miliki untukku.
“Ayah, tolong jangan berpikir seperti itu. Kita masih punya waktu, kita masih bisa berdoa dan berusaha,” kataku, suaraku penuh harapan meski terasa gentar.
Ayah mengangguk pelan. “Iya, Nak. Kita akan tetap berharap. Tapi jika suatu hari nanti Ayah harus pergi, ingatlah... Ayah akan selalu ada dalam hatimu.”
Kami bertiga terdiam, saling menatap dalam keheningan yang penuh dengan rasa syukur dan cinta. Di saat-saat seperti ini, aku merasakan betapa dalam cinta yang ada di antara kami, cinta yang akan terus hidup bahkan jika Ayah tidak lagi di sini bersama kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...