"Itu adalah Bayangan Gelap!"
Suara Lia Ruhani terdengar gemetar meskipun ia berusaha tetap tenang. Matanya melebar saat melihat makhluk itu.
"Besar sekali..." gumamnya dengan napas tertahan.
Bayangan Gelap yang pernah disegel Kakak Raka Samudra dulu sudah terasa begitu besar baginya. Tapi yang satu ini? Ukurannya jauh lebih mengerikan. Bahkan lebih tinggi dari patung ikonik di tengah taman.
"Kak Raka pernah mengajariku cara menyegel Bayangan Gelap," pikir Lia sambil mengingat kembali langkah-langkahnya. Namun, ketika mencoba merasakan kekuatan spiritualnya, ia sadar dirinya tak mampu mengendalikannya dengan stabil. Tangannya sedikit gemetar saat melirik jari-jarinya sendiri.
Makhluk itu perlahan merayap ke arah mereka. Gerakannya lambat, tapi tekanan yang ditimbulkannya sangat nyata. Jarak mereka masih cukup jauh, tetapi bahaya sudah terasa menusuk hingga ke ubun-ubun. Lia menggigit bibirnya, menahan gugup yang mulai merayap ke hatinya. Bulu matanya yang lentik bergetar, dan pipinya yang bulat ikut menegang.
Tanpa sadar, Lia menggenggam tangan Tiara Ayu erat. "Jangan takut," bisiknya lembut, "makhluk itu tidak bisa melihat kita kalau kita diam. Ayo kita sembunyi."
Tiara Ayu mengangguk, air matanya masih menggenang di sudut mata. "Oke," jawabnya pelan, suaranya hampir hilang tertelan ketakutan.
Lia segera melihat sekeliling, mencari tempat aman. Pandangannya tertumbuk pada seorang gadis kecil yang berdiri di sisi kanan mereka. Gadis itu melambaikan tangan dengan panik.
"Ke sini, cepat!" seru gadis itu dengan nada cemas.
Namun, di depan mereka, Bayangan Gelap itu semakin mendekat. Wujudnya yang besar seolah menelan udara di sekitar mereka, membuat semuanya terasa lebih suram. Lia merasa terpojok.
"Kita kembali atau ikut dia?" Lia bertanya dengan nada tegas pada Tiara Ayu, mencoba mengambil keputusan di tengah tekanan.
Tiara menggeleng, wajahnya bingung. "A-aku tidak tahu..."
Lia menghela napas pelan. "Kalau begitu, kita kembali ke toilet saja. Kalau Kakak Raka Samudra tidak menemukan kita, dia pasti akan mencarimu di sana."
Tiara menggigit bibirnya, matanya melirik sekilas ke arah gadis kecil itu. Gadis itu kembali melambaikan tangan dengan lebih keras, isyaratnya jelas: "Ke sini, cepat."
Akhirnya, Tiara mengangguk kecil, menyetujui ide Lia. "Oke," ujarnya pelan.
Namun, sebenarnya Tiara tak yakin. Taman ini terasa begitu asing, seperti labirin yang menyesatkan. Kepanikan membuatnya kehilangan orientasi.
Lia menyadari kegelisahan temannya. Ia menepuk lembut punggung tangan Tiara. "Tenang, aku akan melindungimu," katanya dengan suara yang lebih lembut.
Tiara mengangguk, sedikit lega mendengar keyakinan Lia.
Mereka mulai berjalan kembali ke arah semula, perlahan tapi pasti. Namun gadis kecil itu tetap berdiri di tempatnya, memandang mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kenapa kalian tidak mendekat?" suara gadis itu menggema seperti peringatan.
"Kalian berkeliaran di taman malam-malam begini, kalian akan mati."
"Aku satu-satunya yang tahu tempat yang aman."
"Ikuti aku..."
Namun, Lia dan Tiara semakin menjauh. Langkah mereka membuat bayangan tubuh mereka perlahan mengecil, menjadi titik hitam di kejauhan.
Gadis itu tetap memandang mereka. Lalu, dengan suara yang samar tapi dingin, ia bergumam, "Tanpa aku, kalian tidak akan bisa keluar dari sini..."
Desahan pelan terdengar lagi dari bibir gadis itu, seolah tak percaya dengan apa yang dialaminya.
Lia Ruhani menggandeng tangan Tiara Ayu, langkah mereka lambat namun gugup, melewati jalan yang terasa seperti jebakan. Seberapa jauh pun mereka berjalan, mereka selalu kembali ke tempat semula. Rasa takut menjalar, namun Lia tetap melangkah.
Tiara Ayu, yang berjalan di belakangnya, memeluk lengan Lia erat-erat, tubuh kecilnya gemetar. Setiap bayangan yang bergerak membuat napasnya tertahan.
Langkah Lia terhenti mendadak. Ia menatap sekeliling—dan menyadari bahwa mereka kembali lagi. Gadis kecil berambut dua kuncir itu masih berdiri di tempat yang sama, tak bergerak. Sementara di kejauhan, Bayangan Gelap raksasa, makhluk yang tampak seperti monster, bergerak lebih jauh ke depan, melahap apa saja di jalannya.
Lia tertegun saat makhluk itu melahap Bayangan kecil yang berjalan linglung di depannya. Rasanya dingin menyusup di punggungnya. Ia tahu, jika mereka terus tersesat seperti ini, mereka mungkin akan bernasib sama.
"Kenapa kalian tidak percaya padaku?" Gadis kecil itu bersuara, memecah keheningan. Suaranya terdengar putus asa, tetapi tegas. "Aku tunjukkan arah, kalian pergi sendiri. Aku akan menjaga jarak dari kalian. Bagaimana?"
Lia memandang gadis itu lekat-lekat, tanpa menjawab.
Gadis itu menunjuk lurus ke depan. "Ke arah sana. Jalan saja. Kalau kalian mau mendekat, mendekatlah. Kalau tidak, aku juga akan pergi. Tapi monster itu semakin dekat. Jika dia mengincar kalian, tidak ada jalan keluar lagi."
Lia menoleh ke arah Bayangan Gelap yang besar itu, tubuhnya menegang. Ia melirik ujung jarinya—kosong. Tak ada apa-apa di sana. Tas sekolahnya masih tergantung di punggungnya, berat dengan ponsel pemberian Ayah, tapi ponsel itu tak ada gunanya di tempat ini.
Gadis itu mendesah, suaranya terdengar kesal. "Keras kepala sekali. Aku tahu kalian takut padaku. Tapi dengar, aku tidak seberbahaya monster itu. Aku mungkin cuma risiko kecil, tapi dia? Dia ancaman yang nyata. Jangan jadikan temanmu sebagai korban hanya karena keraguan."
Setelah itu, gadis itu membalikkan badan dan mulai melangkah pelan. Ia berjalan ke arah yang tadi ditunjuknya, setiap gerakannya tampak seperti isyarat, memandu sesuatu ke arah yang belum diketahui.
Lia ragu sejenak. Ia memandang Tiara Ayu di sampingnya, matanya besar dan terang seperti kaca yang hampir retak. Namun tatapan itu membuat Lia menguatkan hati. "Sekali lagi," katanya kepada Tiara, "kalau tidak berhasil, kita coba ke arah sana. Oke?"
Suaranya terdengar seperti anak kecil yang mencoba menyembunyikan rasa takut. Tiara mengangguk ragu, meski tidak sepenuhnya mengerti. Apa maksudnya 'sekali lagi'? Mereka sudah mencoba berkali-kali, dan setiap kali, mereka selalu kembali ke tempat semula.
Namun saat Tiara merenung, ia tiba-tiba melihat cahaya samar muncul dari tangan Lia. Cahaya itu hitam pekat, tapi perlahan berubah menjadi biru terang, memancar lebih luas. Cahaya itu mengusir sebagian kegelapan, menyingkap sesuatu yang berbeda.
Pemandangan di sekitar mereka mulai berubah. Seperti gelembung yang pecah atau tinta yang mekar di dalam air, dunia yang tadinya kelam menjadi lebih terang. Jalan yang kasar menjadi halus. Lampu-lampu jalan yang berdebu menyala satu per satu. Rumput liar berganti taman bunga yang hidup.
Tiara dan Lia membelalakkan mata, tertegun oleh perubahan itu.
Lia mengangkat tangannya, dan cahaya dari tangannya menjangkau lebih jauh, menyinari jalan di depan mereka. Di sana, persimpangan jalan muncul, dengan dua tanda: Bukit Halaman Belakang dan Hutan.
Namun Bayangan Gelap masih ada, melayang di tepi cahaya, seolah menunggu. Lia menarik napas dalam-dalam, mengingat ucapan Ayahnya: "Jika kamu sedang diincar, pergilah ke tempat yang terang. Tempat terang dan ramai akan membuat mereka takut dan lemah. Jangan pernah berlari ke tempat gelap—kau tidak akan selamat."
"Semakin terang tempatnya, semakin takut mereka." Mata Lia bersinar penuh keyakinan. Ia menarik Tiara ke bawah lampu jalan yang paling terang.
Bayangan Gelap itu berhenti di tepi cahaya pertama. Ia terlihat ragu, bahkan bergerak menjauh. Perlahan, makhluk itu menghilang ke kegelapan, seolah kalah oleh terang.
"Tiara, kita aman sekarang," kata Lia dengan senyum tipis. Ia menoleh ke Tiara, yang menatapnya kosong, lalu tiba-tiba memeluknya erat sambil menangis.
"Hiks, aku takut, Lia. Aku sangat takut."
Lia mengusap punggung Tiara, suaranya lembut. "Jangan takut. Aku ada di sini. Aku akan melindungimu."
Mereka berdiri di bawah terang lampu jalan, sementara kegelapan di luar seakan menjauh. Dalam sunyi yang melingkupi mereka, terdengar desahan samar yang hampir tak terdengar, seperti sisa-sisa ketakutan yang tertinggal di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bayangan
Teen FictionDi rumah tua yang telah lama ditinggalkan, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Suara kecil itu, seperti sebuah keajaiban yang datang tanpa diundang─tawa seorang bayi. Lembut, renyah, tetapi terasa ganjil. Tawa itu seperti melawan kehendak rumah itu, y...