Dua Puluh Dua

4 3 0
                                    

Tiara Ayu mendengarkan dengan jantung yang berdebar-debar. Suara Raka Samudra seperti menggema di ruang kecil dalam hatinya, menguatkan keyakinan bahwa ini semua ucapan gadis kucir dua itu hanyalah kebohongan.

Raka Samudra berdiri tegak di depannya, tatapannya tenang tapi penuh arti.

"Aku melihat monster itu saat mencarimu," katanya, suara beratnya seolah membawa kepastian yang tak bisa diganggu gugat. "Itu adalah Bayangan Gelap. Ia tidak bisa menciptakan ilusi—hanya melahap segalanya."

Namun, di sana, selain dari monster Bayangan Gelap, hanya ada gadis kecil berkucir dua.

Dan kini, Tiara Ayu tahu jawabannya. Semua terasa begitu jelas, seolah ada potongan teka-teki yang akhirnya menyatu.

Perasaan pahit merayap dalam hatinya. Ia merasa seperti satu-satunya orang bodoh yang tertipu oleh ucapan gadis kucir dua tersebut. Dadanya sesak, tapi ia tetap memeluk Lia Ruhani lebih erat, seperti seorang anak kecil yang takut kehilangan segalanya jika berani melepaskan.

Lia Ruhani menunduk, menepuk kepala Tiara Ayu dengan lembut. "Itulah sebabnya Ayah selalu berkata, kita tidak boleh percaya pada orang asing, apalagi mengikuti mereka."

Raka Samudra mengangkat tangan, memberi isyarat. "Baiklah, ayo kita pulang. Sudah cukup petualangan untuk hari ini."

Tiara Ayu mengangguk cepat, mengatur langkah kecilnya di belakang mereka. Hatinya masih gelisah, tapi dia tak ingin tertinggal.

Namun, di dekat ayunan tua yang berayun pelan tertiup angin, jalan bercabang ke berbagai arah.

"Kita harus ke mana?" tanya Lia Ruhani, suaranya terdengar ragu.

Raka Samudra menunjuk ke satu arah, bertolak belakang dengan yang tadi ditunjukkan oleh hantu perempuan. "Ke sini. Kita masuk dari arah ini, kan?"

Lia Ruhani menggeleng, tatapan cokelat mudanya menatap Raka dengan jujur. "Terlalu gelap, aku tidak mengenalinya."

Raka Samudra terdiam, menatap persimpangan dengan ekspresi datar. Selama dua detik, ia mempertimbangkan semuanya, hampir yakin jalan itu benar...

Tapi tiba-tiba, Tiara Ayu mengangkat tangan, menunjuk ke sisi kanan. "Bukan, harusnya ke sana. Aku ingat jalannya."

Tanpa ragu, Raka Samudra langsung mengikuti arah Tiara. "Kalau begitu, ke sini."

Diam-diam, ia menghela napas lega. Sungguh, ia tak ingin lagi memastikan arah di tengah keraguan ini.

Langkah mereka baru saja dimulai ketika Tiara Ayu tersentak. Bayangan hitam melintas di sampingnya.

"Ah!" teriaknya kecil, kaget.

Lia Ruhani segera mendekat. "Ada apa?"

Tiara Ayu menghela napas lega, sedikit malu. "Bukan apa-apa... Aku hanya kaget, bayangan daun."

Namun, Lia Ruhani memandang ke arah yang sama dan mengerutkan alis. "Tapi itu tidak terlihat seperti bayangan daun, kan?"

Raka Samudra menyipitkan mata, mengamati dengan lebih teliti. "Itu adalah benih-benih Bayangan Gelap."

Dengan gerakan cepat dan mantap, tangannya membentuk simbol dan membersihkan bayangan kecil itu dengan mudah, seolah membuang debu yang mengotori udara.

"Ayo pergi," katanya, singkat.

Tiara Ayu dan Lia Ruhani mengangguk, melanjutkan langkah.

Namun, tanpa mereka sadari, sebuah bayangan hitam kecil menyelinap keluar dari tempat itu. Ia bergerak cepat, seperti ular yang bersembunyi di balik kegelapan. Bayangan itu menuju tempat di mana gadis berkucir dua sebelumnya tersegel. Ia mencari sesuatu, dan akhirnya menemukan serpihan jiwa hitam. Dalam sekejap, serpihan itu ditelannya.

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang