Empat Belas

8 5 0
                                    

Ketika waktu belajar di taman kanak-kanak selesai, hujan telah reda. Hari itu, Lia Ruhani tampak gelisah, sesekali mencuri pandang ke arah Hantu Pria Muda yang menemaninya.

Merasa tidak tahan dengan tatapan itu, Hantu Pria Muda akhirnya bertanya, "Ada apa, Lia?"

Lia mengangkat wajah kecilnya, matanya bening, sejenak tampak berpikir. Namun, akhirnya dia hanya menggeleng tanpa berkata apa pun.

"..." Hantu Pria Muda tak sepenuhnya percaya, tetapi ia tidak ingin memaksa. "Baiklah, beri tahu aku saat kamu mau, ya."

Dengan hati yang terasa berat, Lia pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, suasana sedikit berubah. Semua orang langsung merasakan ada yang aneh. Mata mereka kini menatap Hantu Pria Muda dengan pandangan bingung, seolah ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hantu Pria Muda hanya bisa menggeleng pelan, tak sanggup menjelaskan. Rumah hantu yang biasanya hangat kini menjadi tegang dengan tingkah Lia yang tak seperti biasanya.

Saat makan malam, tiba-tiba Lia berbicara dengan suara kecil yang serius, "Ayah, Ibu, Kakak, Kakek, Nenek..."

Satu per satu ia memanggil, membuat seluruh keluarga hantu di meja makan tertegun. Perlahan mereka meletakkan sendok dan garpu, seolah menunggu dengan siaga.

"Kita ini... hantu?" tanya Lia dengan ragu.

Hantu Wanita terdiam sejenak, matanya mengerjap pelan sambil menggenggam garpu lebih erat. Lalu, dengan senyum lembut yang penuh makna, ia menatap Lia dan berkata, "Jadi, akhirnya kamu mengetahuinya, sayang."

Lia terlihat bingung. Matanya membulat saat bertanya pelan, "Kalau begitu, kenapa aku masih punya bayangan?"

Hantu Wanita tertawa kecil dan menjawab, "Ah, itu karena kita memang hantu, tapi kamu bukan, Nak."

Lia terdiam, matanya yang besar mulai berkaca-kaca. "Kalau begitu... dari mana aku berasal? Apakah aku ditemukan di tempat sampah?"

Hantu Wanita tidak menyangka pertanyaan itu yang muncul. Lia yang menangis dan bertanya seperti itu adalah sesuatu yang menggelikan sekaligus menyentuh. Jika ia sampai mengangguk, mungkin Lia akan menangis makin kencang.

Tak bisa menahan geli, Hantu Wanita tertawa lepas.

Namun Lia sudah mulai tersedu-sedu. Ia menangis, tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan Raka Samudra di taman kanak-kanak tadi pagi. Di depan keluarganya, perasaan sedih itu tak lagi bisa ia tahan. Rasanya... kalau benar ia dari tempat sampah, kenapa dia tempatkan yang begitu kotor?

"Wuwuwu... apakah aku anak yang tak diinginkan?" tanya Lia sambil terisak.

Nenek Hantu langsung berkata lembut, "Tentu tidak! Kamu bayi kecil kami, sayang."

Lia mengedipkan mata, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. "Benarkah?"

Nenek Hantu tersenyum dan mengangguk, "Benar sekali, Nak."

Lia menghapus air matanya dan menatap Kakek Hantu dengan tatapan penuh harap, "Kakek, apakah aku bayi kecil Kakek?"

Kakek Hantu tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dengan senyum hangat di wajahnya.

Lia pun merasa sedikit lega, dan kini ia bertanya pada sosok besar di sampingnya, "Kakak, apakah aku bayi kecil Kakak?"

Hantu Kekar yang duduk di sampingnya tersenyum lebar. Dengan sigap, ia mengambil kamera dan diam-diam memotret Lia yang menangis dengan "klik," lalu menunjukkan deretan gigi putihnya. "Iya! Kakak benar-benar sayang sama Lia! Lia yang menangis juga tetap lucu!"

Lia kembali mengusap hidungnya dan kini menatap ibunya, "Ibu, apakah aku bayi kecil Ibu?"

Akhirnya, Hantu Wanita meletakkan garpunya, menguap malas, lalu berkata, "Tentu saja, kamu bayi kecil Ibu."

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang