Dua Puluh Tiga

9 4 0
                                    

"Oh, oh." Dengan gugup, Tiara Ayu meraih ponsel Lia Ruhani yang tergeletak di dekatnya. Ponsel itu tak memiliki kata sandi. Tangan kecilnya gemetar saat membuka kontak, matanya segera menemukan nomor yang diberi label 'Ayah'.

Di sisi lain, Lia Ruhani berlari kecil mendekati Raka Samudra. Gadis itu dengan kedua tangannya menggenggam erat lengan Raka Samudra, yang terasa dingin dan keras seperti batu giok, lalu menariknya sekuat tenaga.

Sepatu hitam kecil model Mary Jane yang dikenakannya meninggalkan bekas di tanah, namun tubuh Raka Samudra tetap tak bergeming.

"Berhenti menarik lenganku, itu tidak akan lepas!" Raka Samudra akhirnya membuka suara, napasnya terdengar berat. Matanya penuh kepanikan, tetapi suaranya tetap tenang. "Kalian harus pergi kabur sekarang juga."

Namun, Lia Ruhani tak mendengarkan. Gadis kecil itu keras kepala, tetap menarik tangan Raka Samudra meski wajahnya memerah karena kelelahan. Ketika usahanya tak membuahkan hasil, dia mendengus frustrasi. Satu tangannya terlepas dari lengan Raka Samudra, tetapi hanya untuk membuat gerakan di udara. Sebuah bentuk persegi tergambar dengan cepat.

"Kuasa Dewata, Kunci."

Segel itu muncul, melayang ringan di udara sebelum jatuh tepat di bayangan hitam yang menjalar dari lengan Raka Samudra. Namun segel itu menghilang begitu saja, seolah terserap oleh kegelapan.

Lia Ruhani menghentakkan kakinya dengan geram. Sementara itu, bayangan hitam yang menempel di tangan Raka Samudra perlahan menjalar, melahap kulitnya seperti racun, bahkan hampir meraih tangan kecil Lia Ruhani.

Raka Samudra mengatupkan bibirnya. Dengan tangan satunya, dia mencoba memanggil sebuah pedang besar—pedang yang biasanya muncul tanpa ragu. Namun kali ini, pedang itu hanya membentuk bayangan samar sebelum lenyap.

Setiap kekuatan spiritual yang ia coba gunakan justru membuat kegelapan itu semakin rakus.

Tiara Ayu menatap adegan itu dengan napas tersengal, hatinya penuh kecemasan. Air mata mulai mengalir di pipinya. Dalam hati, dia bergumam dengan putus asa, 'Saat bantuan tiba, Lia  dan Kak Raka mungkin sudah habis dimakan.'

Ponsel di tangannya akhirnya tersambung. "Halo?"

Tiara Ayu menangis tersedu, "Ha- halo, Om... Lia Ruhani ada di taman, dan ada monster besar yang mencoba memakan kami! Kami tidak tahu harus bagaimana..."

Suara di telepon terdengar tenang, tak tergoyahkan. "Jangan menangis. Bisakah kamu letakkan ponsel itu di tanah?"

"Hah?" Tiara Ayu, dengan bingung namun patuh, menurunkan ponsel itu ke tanah. "Begini Om?"

Baru saja kata-kata itu selesai, sebuah bayangan hitam keluar dari layar ponsel, melayang dan membentuk sosok. Tiara Ayu mendongak, matanya melebar ketakutan. Di hadapannya kini berdiri seorang pria muda dengan senyum yang dingin dan menyeramkan.

Sosok hantu itu melayang menuju kegelapan yang melahap lengan Raka Samudra.

Raka Samudra, yang hampir kehilangan semua kekuatan, berbisik serak, "Pergi. Jika kalian tidak pergi sekarang, kita semua akan tertelan—bahkan Tiara Ayu juga."

Namun, Lia Ruhani menggenggam tangan Raka Samudra lebih erat. Dengan suara kecil yang keras kepala, dia berkata, "Ayahku akan segera tiba. Tunggu sedikit lagi, Kak Raka. Semuanya akan baik-baik saja."

Namun, kata-katanya tak menghentikan kegelapan. Bayangan hitam itu akhirnya mencapai tangan Lia Ruhani. Sensasi dingin dan menakutkan itu menyelimuti tangannya. Untuk pertama kalinya, Lia Ruhani merasa takut—takut pada sesuatu yang terasa begitu familiar namun begitu mematikan.

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang