Dua Puluh Satu

7 4 0
                                    

Gadis dengan rambut kuncir dua itu memandang Raka Samudra tanpa berkata-kata. Setelah beberapa saat sunyi, dia tiba-tiba mulai bicara dengan cepat, seperti air yang meluap tanpa bisa dibendung.

"Taman ini hanyalah taman biasa di siang hari, tetapi begitu malam datang, taman ini berubah. Ia menjadi labirin hantu yang tidak bisa kau tinggalkan," ucapnya, nadanya seperti sebuah bisikan rahasia.

Raka Samudra tetap diam, matanya yang tajam sesekali berkedip bingung. Tangan yang tadi siaga untuk menyegel gadis hantu itu kini ragu, seperti ditahan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Dia tidak pernah meminta gadis itu berbicara, tapi entah kenapa, kata-katanya mengalir begitu saja. Apakah salah jika dia menyegelnya sekarang?

Dia berpikir: Ini sungguh dilema.

Namun, gadis kuncir dua itu tidak peduli. Melihat keraguan di mata Raka Samudra, dia malah semakin semangat berbicara. "Taman ini aman hanya di siang hari. Mereka, para penghuni malam, tidak menyukai cahaya matahari. Tapi begitu gelap datang, semuanya berubah."

Raka tetap diam, meski pikirannya terus bergerak. Di sela keheningan itu, Lia Ruhani dan Tiara Ayu memperhatikan dengan waspada. Gadis hantu itu melirik mereka, seperti menilai sesuatu.

"Di taman ini," lanjut gadis itu dengan suara yang sedikit lebih rendah, "ada dua hantu besar. Yang satu adalah Bayangan Gelap, dan yang lainnya adalah Kerangka Tulang. Bayangan Gelap memiliki tubuh besar, tanpa mata, tanpa hidung, tanpa mulut. Dia melahap apa saja—bayangan kecil, roh gentayangan, bahkan sesuatu yang lebih lemah darinya. Kau pasti sudah menyadarinya, bukan?" Pandangannya berpindah ke Lia dan Tiara.

Tiara menggenggam tangan Lia erat, raut wajahnya cemas. Gadis kuncir dua itu melanjutkan dengan nada getir, "Itulah sebabnya, semakin malam, semakin sedikit roh yang berkeliaran di taman ini. Mereka semua dimakan olehnya."

Mata Raka Samudra menajam. Jadi, itu alasannya.

Dia menatap Lia dan Tiara sejenak, lalu kembali pada gadis itu. Tapi sebelum dia sempat berkata apa pun, gadis itu melanjutkan lagi. "Itulah kenapa, ketika aku melihat kalian di taman ini, aku berharap kalian ikut denganku. Sangat berbahaya berada di sini setelah gelap."

Dia menundukkan kepala, mata hitam legamnya menatap tanah, suaranya berubah lebih lembut. "Tapi aku tahu, kalian tidak akan mempercayai kata-kataku. Aku ini hantu, bukan? Siapa yang percaya pada hantu?"

Kata-katanya menggantung di udara, membawa dingin yang menelusup. "Tapi sebelum mati... aku juga manusia," gumamnya.

Hening menyelimuti malam itu. Tiara Ayu menggigit bibirnya, jelas terlihat gelisah.

Gadis itu mengangkat wajahnya perlahan, memandang Tiara dengan tatapan lembut. "Aku hanya ingin memastikan kalian aman. Awalnya aku berencana pergi saat fajar, ketika aku tahu kalian sudah selamat."

Lia mendekat ke Raka dan berbisik pelan, "Dia berbohong."

Aroma susu perlahan menguar dari mulut Lia, seperti balon yang bocor. Raka mengangguk pelan, tetap tenang.

Tapi gadis itu terus berbicara, kali ini matanya lurus menatap Tiara. "Aku tidak menyangka kalian bertemu dengan hantu besar kedua—Kerangka Tulang. Dia selalu berkeliaran setiap malam, mencari potongan dagingnya sendiri. Jika dia melihat seseorang, dia akan bertanya, 'Di mana dagingku?' Jika kau tidak tahu, dia akan merobek dagingmu dan menempelkannya pada tubuhnya. Jika kau tahu, tapi tidak bisa memberikannya, dia tetap akan mengambilnya, sedikit demi sedikit."

Suasana menjadi lebih dingin. Tiara langsung menggenggam tangan Lia erat-erat, wajahnya pucat pasi.

"Jadi, ketika aku melihatnya mendekatimu, aku tahu aku harus bertindak," lanjut gadis itu. Dia menyentuh lehernya dengan ragu. Tiara tiba-tiba teringat adegan saat gadis ini dicekik oleh Kerangka Tulang—wajahnya penuh rasa sakit, berjuang demi menyelamatkan mereka.

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang