30: TUMBUH BARENG KITA

163 55 13
                                    

KAFKA, IFKI, AYAH, DAN BUNDA kini berada di ruang keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KAFKA, IFKI, AYAH, DAN BUNDA kini berada di ruang keluarga. Dengan sorot mata tajam Bunda yang Bunda tujukan pada Kafka yang terduduk diam seraya mengalihkan pandangan darinya. Dengan napas Ayah yang memburu, menatap Kafka penuh ketajaman.

Tadi setelah Kafka menceritakan soal Dena ke Ifki, Bunda mendengarnya dan memanggil nama Kafka dengan keras. Dan Ayah yang kebetulan mendengar itu dibuat terkejut dan langsung menghampiri mereka dan membawanya ke ruang keluarga.

Setelah mendengar cerita singkatnya dari Bunda, Ayah tak berhenti menatap tajam ke arah Kafka dan dengan penuh rasa kekecewaan.

Pagi-pagi seperti ini hanya ada kegaduhan kecil di keluarga ini. Keadaan sangat panas antara mereka. Semuanya tegang, seperti sedang ada di persidangan.

Brak!

Ayah menggebrak keras meja di depannya.

"Keterlaluan kamu, Kafka. Kenapa kamu cerita soal Dena ke Ifki, hah?" tanya Ayah dengan suara keras.

Kafka menoleh. "Ya sampai kapan Ayah nutupin semuanya, Yah? Dia udah besar, harus udah tau kebenarannya." jawab Kafka.

"Kamu ngasih tau karena emang udah waktunya atau emang kamu pengen Ifki pergi dari rumah ini dan ikut Mamanya itu, Kafka?"

Pertanyaan keras dari Bunda membuat Kafka terdiam dan memukul meja. Ia mengusak kasar rambutnya lantaran kesal.

"Ka, kamu nggak tau apa-apa. Masalah ini harusnya Bunda sama Ayah yang urus" tampik Bunda.

"Ya kalian mau anak ini hidup dengan penuh penderitaan, hah? Hidupnya nggak akan bener kalau dia nggak tau soal Mamanya, Bun!" balas Kafka.

"Ya kamu yang buat penderitaan itu ada sama Ifki, Kafka!" hardik Ayah, menatap Kafka dengan napas tak beraturan. "Kamu yang nggak mau nerima dia dan buat hidupnya penuh penderitaan. Kamu yang munculin itu, Ka!"

"Ayah nyalahin Kafka sekarang?"

"Iya! Karena kamu udah kelewatan. Kamu udah hilangin kepercayaan Ayah sama kamu. Ayah kira dengan kamu yang tau soal Dena kamu bakalan diam, ternyata enggak. Keterluan kamu, Kafka!" ucap Ayah dengan penuh kekecewaan.

Bahu Kafka menurun, lemas mendengar ucapan Ayah. Ia menggeleng tak percaya dengan seringaian kecil yang terukir di bibirnya.

"Ka,"panggil Bunda pelan. "Dulu Bunda emang nggak suka dengan kehadiran Ifki, tapi seiring berjalannya waktu, dengan Bunda yang rawat Ifki sampai sebesar ini, susah buat Bunda kasih dia ke Mamanya. Bunda yang sudah rawat dia, Ka!" jelas Bunda, pupil matanya bergetar.

Ucapan Bunda membuat Ifki menoleh kaget. Ia benar-benar tak menyangka dengan perkataan Bunda.

"Ya kan kalau dia ikut Mamanya, dia bisa mampir ke sini jengukin Ayah sama Bunda?"

"Kamu nggak ngerti rasanya jadi orang tua, Kafka!" teriak Bunda, menggema ke seisi rumah.

Sampai Ayah yang mendengar Bunda teriak seperti itu, membuat Ayah menahan badan Bunda agar tidak jatuh karena lemas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 11 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RIFKI: 17 Tahun Bersama AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang