Ibu tampak berusaha lebih keras akhir-akhir ini. Setelah kepergian Ayah, ia mulai bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan, mengurus pekerjaan rumah, dan bahkan mencari cara untuk menguatkan aku dan keluarga. Aku sering melihatnya duduk di meja makan, memegang buku catatan kecil, menulis sesuatu dengan tatapan penuh tekad. Mungkin itu daftar rencana, atau sekadar catatan kecil untuk mengingatkan dirinya bahwa masih ada harapan di tengah kesulitan.
Suatu pagi, saat aku sedang bersiap-siap ke sekolah, Ibu menghampiriku dengan senyum lembutnya.
"Alika, hari ini aku ingin kita bicara sebentar sebelum kamu pergi. Ada beberapa hal yang ingin Ibu sampaikan," katanya dengan suara lembut, tetapi ada kekuatan yang terasa dalam nadanya.
Aku mengangguk, merasa ada sesuatu yang serius. Kami duduk berhadapan di meja makan, dan Ibu menggenggam tanganku erat.
"Alika, aku tahu semuanya terasa sulit sekarang," katanya. "Tapi kita masih punya masa depan. Aku ingin kita sama-sama bangun harapan itu, meskipun Ayah sudah tidak bersama kita."
Aku menatap Ibu, merasakan kehangatan dari kata-katanya. "Aku juga ingin kita tetap kuat, Bu. Tapi... rasanya masih berat."
Ibu tersenyum kecil, mengusap tanganku dengan lembut. "Ibu juga merasakan hal yang sama, Nak. Tidak ada yang mudah tentang kehilangan. Tapi Ibu percaya, setiap langkah kecil yang kita ambil bisa membawa kita menuju hari yang lebih baik."
Aku menghela napas panjang, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi... apa yang harus kita lakukan, Bu?"
Ibu mengambil napas dalam, seolah mempertimbangkan jawabannya dengan hati-hati. "Mulai dengan menghargai hal-hal kecil. Kembali melakukan hal-hal yang membuat kita bahagia. Misalnya, menggambar lagi. Ibu tahu kamu sangat suka menggambar, kan?"
Aku tersenyum samar, teringat betapa menggambar adalah pelarianku dulu. "Aku akan coba, Bu. Mungkin menggambar bisa sedikit mengalihkan pikiranku."
Ibu tersenyum senang, lalu memelukku. "Ibu percaya kamu bisa melewati ini, Alika. Kita berdua akan menemukan jalan untuk membangun harapan lagi."
****
Saat aku mulai membuka buku gambarku di ruang tamu, Ibu mendekat dan duduk di sebelahku. Ia tersenyum lembut, menatap halaman kosong di depanku.
"Apa yang ingin kamu gambar kali ini, Nak?" tanya Ibu dengan nada lembut.
Aku menggeleng sambil tertawa kecil. "Aku belum tahu, Bu. Rasanya masih bingung mau mulai dari mana."
Ibu menepuk pundakku pelan. "Kamu bisa mulai dengan hal yang paling sederhana, mungkin sesuatu yang mengingatkanmu pada Ayah. Atau sesuatu yang membuatmu merasa tenang."
Aku terdiam sejenak, memikirkan saran Ibu. "Mungkin... aku ingin menggambar sesuatu yang bisa menggambarkan kenangan kita. Tapi... apa, ya?"
Ibu tersenyum sambil mengingat sesuatu. "Ingat nggak waktu kita liburan ke pantai dulu? Kamu bilang laut itu seperti lukisan yang nggak pernah berhenti berubah."
Aku mengangguk, merasa hangat di hati. "Iya... Ayah waktu itu bilang, setiap ombak membawa cerita baru."
Ibu tertawa kecil. "Iya, Ayahmu memang selalu punya cara untuk melihat sesuatu dari sisi yang berbeda."
Kami terdiam sejenak, menikmati kenangan itu. Kemudian Ibu memandangku dengan lembut.
"Alika, kamu tahu kan, apa pun yang terjadi, Ayah akan selalu hidup di dalam hati kita?" tanya Ibu, suaranya mulai bergetar.
Aku menatap mata Ibu, melihat kesedihan yang ia coba sembunyikan. "Iya, Bu... Aku juga percaya itu."
Ia mengangguk pelan. "Jadi, ayo kita lanjutkan hidup ini dengan membawa semangatnya. Dia pasti ingin melihat kita bahagia."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba merasakan kata-kata Ibu. "Aku akan coba, Bu. Aku akan coba menggambar kenangan itu. Semoga aku bisa."
Ibu tersenyum penuh bangga, lalu mencium kepalaku. "Ibu tahu kamu bisa, Alika. Kamu selalu punya kekuatan di dalam dirimu yang Ibu banggakan."
Aku membalas senyumnya, merasa sedikit lebih kuat. Dengan perasaan baru, aku mulai menggerakkan pensilku di atas kertas, menggambar garis-garis pertama yang mewakili kenangan yang aku dan Ibu simpan di hati kami. Rasanya seperti membuka jendela ke masa lalu, mengingat kebahagiaan yang pernah kami rasakan bersama Ayah.
Di tengah-tengah proses menggambar, aku berhenti dan menatap Ibu. "Bu, terima kasih, ya. Udah terus jadi kuat buat aku."
Ibu tersenyum, menahan air mata yang mulai menggenang. "Terima kasih juga, Alika. Kamu selalu jadi alasan Ibu untuk tetap kuat."
Dan di saat itu, tanpa banyak kata, kami saling memahami bahwa meski Ayah sudah pergi, kenangan dan semangatnya akan terus hidup melalui kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT YANG RETAK✅
Short Storymemperkenalkan Alika, gadis 14 tahun yang tinggal di sebuah desa kecil. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang bahagia bersama orang tuanya. Alika sangat dekat dengan ayahnya, yang selalu mengajarinya cara menghadapi hidup dengan senyuman. Namun, s...