48

972 115 29
                                    

••••••

Jangan lupa voteee♡♡♡

••••••

Aldrich turun dari mobil tak lupa menutup pintu, ia berjalan dengan langkah lebarnya memasuki rumah sakit.

Ia langsung memasuki ruangan dimana Calista berada, untuk Alavin, ia tak terus masuk melainkan duduk dikursi tunggu sembari membuka handphonenya.

Aldrich duduk dikursi, lengannya sibuk mengusap usap tangan dingin Calista yang tak terbalut infus.

"Apa kabar? Elle, kapan kamu membuka matamu?"tanya Aldrich lalu mengecup lama tangan wanita itu.

"Apakah mimpimu itu terlalu bagus hingga kamu sangat menyukainya?"

"Please wake up Elle "mohon Aldrich dengan suara seraknya.

"I love you"

Titt

Titt

Titt

Suara monitor berbunyi nyaring dan tak lama dokter datang bersama dengan suster.

"Tuan, anda diharapkan keluar"kata salah satu suster, Aldrich langsung menurut sebelum benar benar keluar, ia menyempatkan berbalik kebelakang.

'Kuharap kau bertahan Calista, If you don't wake up, then please wake me up from this dream' tanpa sadar, setetes air mata dengan bebas lolos dari pelupuk matanya.

"I love you and will continue to love you"suara Aldrich terdengar hampir seperti bisikan.

Didalam sana, dokter terus berusaha mengembalikan detak jantung pasien untuk kembali normal.

Dokter menempelkan alat pemacu jantung ketubuh Calista selama tiga kali.

"Dokter, detak jantung pasien kembali namun sangat lemah dok"lapor salah satu suster.

"Dok, jantung pasien kembali berhenti"suster itu kembali melapor.

Dokter kembali menempelkan alat pemacu pada dada Calista berulang kali namun tak ada tanda tanda kembalinya berdetak jantung milik wanita itu, suster berbicara tadi menggeleng lemah.

"Jantung pasien tidak kembali berdetak lagi dok"kata suster itu.

Di luar sana, Aldrich terus mondar mandir tak jelas, sudah ada kedua keluarga disana, ibu Calista, Diana, dan ibu Aldrich, Elina saling berpelukan, suara isakkan mereka berdua terus terdengar memecahkan kesunyian dikoridor itu.

"Ma-mah, mama Elina, kalian jangan menangis, kita hanya bisa mendoakan saja semoga kakak Ca-calista.." Celine menjeda ucapannya untuk menatap pintu tertutup rapat itu.

Bibir Celine sedikit bergetar. "Bisa selamat"lanjutnya.

Irene tak jauh dari sana, hanya bisa menunduk penuh rasa bersalah, disampingnya ada Chaiden berusaha menenangkannya dengan cara mengusap usap bahu Irene.

Irene perlahan menyandarkan kepalanya dibahu Chaiden. "Ini semua salah ku Revin"gumam Irene menatap kosong lantai.

"No, jangan terus menyalahkan dirimu Ren, ini bukan salahmu melainkan sudah takdir"kata Chaiden hingga membuat mata Irene kembali berkaca kaca.

"Hiks, i-ini semua salahku hiks"Irene menangis di dada Chaiden yang mengusap punggungnya berusaha menenangkannya.

"Sstt, tenanglah, apa kamu tidak mendengar dengan jelas ucapan adek Calista tadi?"tanya Chaiden dibalas gelengan kepala.

Us And Destiny (Transmigration) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang