7. My Baby

319 69 6
                                    

Mata Paritha mengerjap lemah. Setelah beberapa jam tidak sadarkan diri, akhirnya gadis itu tersadar.

Merasakan genggaman hangat pada jari telunjuknya, Paritha seketika menoleh. Rora menggenggam telunjuknya dengan menggunakan kelima jari di tangan kanannya.

Di sebelah Rora, ada Asa yang sedang menutup matanya.

Paritha memperhatikan jarum pada jam yang tergantung manis di dinding kamar. Sedikit terkejut karena waktu ternyata sudah menunjukkan pukul 3 dini hari.

"Nda~" Rora bermimpi memanggil namanya.

"Sstt...Bunda disini. Gak apa-apa, bobok ya?" Bisik Paritha tepat di telinga Rora. Seketika sang bayi terdiam, merasa tenang akibat elusan yang diberikan oleh Paritha.

Asa yang berada di sisi lain Rora merasa sedikit terusik, perlahan mata sipitnya terbuka, "Kak Riri?"

Paritha tersenyum membalas sapaan Asa, "Maaf ya ngerepotin kamu."

"Kakak apaan sih." Asa tidak terima dengan kalimat yang diucapkan Sang Kakak, ia tulus membantu Paritha. Lagipula ia juga sudah menganggap Rora sebagai anaknya, sama seperti yang Paritha lakukan.

"Kalian udah makan?"

"Udah tadi." Balasnya dengan merapikan rambut lebat Rora menepi dari matanya.

"Kalau Adek?" Tanya Paritha lagi.

Asa kembali bersuara, "Udah juga, tapi sedikit karena dia nangis terus khawatir lihat Kakak pingsan. Tapi tenang aja, dia udah minum susunya sampai tandas. Mungkin pagi nanti sarapannya harus kita cepetin biar Adek gak kelaperan."

Paritha kembali tersenyum mendengar itu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika dia hanya tinggal berdua saja dengan Rora tanpa bantuan teman-teman yang sudah ia anggap sebagai saudaranya itu.

Melihat Paritha yang kembali terdiam Asa sedikit berdehem, memulai percakapan, "Kata Dokter, Kakak terlalu banyak pikiran makanya pingsan. Makannya juga gak teratur, sama kurang istirahat. Dokter nyaranin buat perbaiki pola makan sama rajin minum vitamin."

"Gimana Kakak udah setuju sama calon pengasuhnya Rora yang Kak Ruka saranin itu?" Tanya Asa memastikan, karena sebelum itu Paritha dan Ruka sempat berdebat akan pembicaraan soal pengasuh itu.

Paritha yang tidak setuju anaknya di asuh oleh orang lain, serta Ruka yang tidak suka adik sepupunya kelelahan dalam mengurus Rora serta melakukan tugasnya yang lain.

Kebimbangan yang dialami Paritha sempat membuat semua orang bingung untuk bertindak.

Kadang iya, kadang tidak.

Oleh karena itu, Asa yang kemarin ingin mencari pengasuh untuk Rora tidak jadi melakukannya karena keraguan Paritha. Sehingga membuat Ruka yang harus bertindak tegas terhadap keputusan gadis muda tersebut.

Sebelum menjawab, Paritha menghela nafasnya dulu, "Iya."

"Ya?" Asa kurang yakin dengan pendengarannya karena Paritha berbicara dengan berbisik.

"Iya, aku setuju." Ulangnya lagi tapi Asa dapat menemukan rasa ketidakikhlasan di balik ucapan Paritha.

Asa memegang tangan Paritha yang berada di pipi Rora, "Jangan lemes gitu dong. Tenang aja, kan kalau malam Rora tetap bareng sama Kakak."

"Jangan khawatir juga, Kak Ruka tadi bilang kalau bakalan masang CCTV besok buat pantau keadaan Rora."

Paritha menatap lekat manik hitam Asa, "Sa, menurut kamu keputusan aku ini bener atau enggak sih?"

"Ya bener dong Kak. Kalau kamu maksain ngurus Rora sendirian yang ada kesehatan kamu yang jadi urusannya."

Paritha menggeleng, bukan itu maksudnya, "Aku bukan nanya tentang keputusan yang itu, tapi tentang bener atau gak keputusan aku untuk ngadopsi Rora?"

Asa terdiam, bingung ingin menanggapi bagaimana, "Kalau Kakak tanya tentang pendapat aku, aku bakalan jawab benar. Aku setuju sama keputusan Kakak."

"Karena kalau kemarin kita bawa Rora ke kantor polisi, kemungkinan besar dia bakalan diserahin ke panti. Dimana kita gak tau nantinya gimana kehidupan Rora disana, diperlakukan baik atau enggak. Kita  juga gak bakalan tau orang yang bakalan ngadopsi dia nanti yang kayak gimana? Entah mungkin penjual organ-lah atau mau dijadiin pengamen di jalanan." Jelas Asa panjang lebar.

Paritha mendelik, "Kebanyakan nonton film kamu tuh jadinya kepikiran kesana. Jauh banget sih."

"Ya kan, aku mikirin segala macam praduganya loh." Balas Asa membela diri.

"Tapi kalau Kakak memang nyesal sama keputusan itu, aku siap kok ambil alih hak asuh Rora." Tawar Asa dengan senyuman tipis namun berhasil membuat Paritha kesal dengan ucapannya.

Ia pun menyolot, "Aku gak nyesal ya! Dan gak akan aku biarin Rora jadi anak kamu, dia anak aku!" Tekan Paritha mempertegas.

"Iya. I know, I know Kak. Jangan kesel kayak gitu dong, suaranya kecilin nanti Adek bangun." Tegur Asa memperagakan cara mengecilkan volume speaker, "Lagian aku tau juga kali, kalau si Adek lebih milih Kakak jadi orangtuanya secara pertama kali dia bisa langsung cepet dekat sama kamu, Kak."

Asa mulai berakting centil, "Dia lebih sayang Bunda-nya daripada sama Mama-nya." Ia berpura-pura mengusap air mata yang nyatanya tidak ada.

"Banyak gaya kamu tuh."

Paritha menghela nafasnya menenangkan diri, "Langsung tidur sana, aku mau ke bawah dulu. Haus." Ia menunjukkan teko kosong yang berada di atas nakas, "Eh, tapi sebelum itu tolong gantiin cold-fever nya Rora dulu ya. Kayaknya udah kering tuh."

"Iya, Kak."

Langkah kaki Paritha mulai menuruni pijakan tangga. Ruang tengah tampak lengang dan gelap. Suara semilir angin dari luar terdengar hingga ke dalam rumah.

"Hujan?" Tanya Paritha pada dirinya sendiri.

Tungkai kaki tersebut kembali melangkah, menyusuri keramik putih menuju dapur.

Dahinya sedikit mengernyit ketika menemukan lampu bersinar terang dari arah dapur. Ada sedikit rasa was-was yang mampir dalam diri Paritha.

Matanya menulusuri seisi rumah, mencari benda yang bisa dijadikan sebagai alat senjata. Yang kemudian ia menemukan sebuah sapu disudut dekat lemari sepatu dan diambilnya lalu digenggam dengan erat.

Langkahnya berjinjit penuh hati-hati, takut menciptakan suara yang dapat menyebabkan 'sesuatu' itu menyadari kehadirannya.

Pintu kulkas terlihat terbuka lebar, menyembunyikan sosok tersebut di balik sayap kokohnya.

Kret!

"ARGH!"

"ARGH!"

Teriakan saling sahut menyahut memenuhi dapur di tengah malam yang dingin dan sepi.

Tersadar akan siapa yang berada di hadapan mereka, kontan keduanya saling terdiam masih dengan wajah penuh keterkejutan.

"YAK!"

"YAK!"

Keduanya kembali saling berteriak. Namun kini dengan memberikan tatapan sinis yang menusuk.

"Kakak apa-apaan sih?!"

"Kamu yang apa-apaan! Datang-datang gak ada suaranya! Kalau jalan itu kedengeran langkah kakinya, jangan kayak hantu!" Sewot Ruka dengan penuh kekesalan.

"Kakak-lah yang hantu, hantu pendek. Masa aku cantik-cantik gini jadi hantu!"

"Heh! Gak usah body shaking ya!"

Paritha melongo heran, sejak kapan dia menggoyangkan padanya. Selain pendek, ternyata mata Ruka juga bermasalah, "Body shaking apaan? Aku diem aja kok dari tadi!"

"Itu loh, ngata-ngatain orang pendek. Kan body shaking, kampungan banget lo tuh. Masa bahasa gaul itu aja gak tau!"

"Body shaming, woi! Body shaming, sipit!"








———








TBC

𝐌𝐲 𝐁𝐚𝐛𝐲Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang